Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 Pasca Putusan MK, SE Menteri Ketenagakerjaan dan SEMA

Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 Pasca Putusan MK, SE Menteri Ketenagakerjaan dan SEMA

Loading

KONTRIBUTOR:

Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 Pasca Putusan MK, SE Menteri Ketenagakerjaan dan SEMA

Menyatakan Pasal 158; Pasal 159; Pasal 160 ayat (1) sepanjang mengenai anak kalimat “…. bukan atas pengaduan pengusaha …”; Pasal 170 sepanjang mengenai anak kalimat “…. kecuali Pasal 158 ayat (1) …”; Pasal 171 sepanjang menyangkut anak kalimat “…. Pasal 158 ayat (1) …”; dan Pasal 186 sepanjang mengenai anak kalimat “…. Pasal 137 dan Pasal 138 ayat (1) …” Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;-

Diatas merupakan kutipan amar putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Putusan Perkara Nomor 012/PUU-I/2003 pada tanggal 17 Nopember 2004 Tentang Uji Materil Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan salah satunya Pasal 158 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang diajukan 37 (tiga puluh tujuh) orang.

Para penggugat menyampaikan banyak alasan yang mendasari uji materil ini, dimulai dari UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah undang – undang yang patut, UU Ketenagakerjaan sebagai satu dari “Paket 3 UU Perburuhan”, dibuat semata-mata karena tekanan kepentingan modal asing dari pada kebutuhan nyata buruh/pekerja Indonesia.

Dan tentunya terdapat Pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam artikel ini saya akan mengulas terkait Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan sebagaimana tertuang dalam argumen hukum gugatan

Para penggugat menyampaikan banyak alasan yang mendasari uji materil ini, dimulai dari UU Ketenagakerjaan telah disusun dengan melanggar prinsip-prinsip dan prosedural penyusunan dan pembuatan sebuah undang-undang yang patut, UU Ketenagakerjaan sebagai satu dari “Paket 3 UU Perburuhan”, dibuat semata-mata karena tekanan kepentingan modal asing dari pada kebutuhan nyata buruh/pekerja Indonesia.

Dan tentunya terdapat Pasal dalam UU Ketenagakerjaan yang bertentangan dengan Undang – Undang Dasar Tahun 1945 sebagaimana wewenang Mahkamah Konstitusi menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Dalam artikel ini saya akan mengulas terkait Pasal 158 UU Ketenagakerjaan yang dianggap bertentangan sebagaimana tertuang dalam argumen hukum gugatan a quo:

1. Pertimbangan Hukum Pengujian Materil.
3 (tiga) UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 27 ayat (1) dan (2), Pasal 28, dan Pasal 33, dan secara substansial LEBIH BURUK dari UU yang dihapusnya.

a. Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.
b. Bertentangan dengan Pasal 28 UUD 1945.
c. Bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.
d. Bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945.

Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 secara tegas mengatakan: “segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.

UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan ketentuan Pasal 27 ayat (1) Undang – Undang D asar tahun 1945 ini karena telah bersifat diskriminatif secara hukum, sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 158 jo. Pasal 170UU a quo. Pasal 158 ayat (1) berisi perbuatan-perbuatan yang karenanya buruh dapat diputuskan hubungan kerjanya karena telah melakukan kesalahan berat.

Perbuatan-perbuatan dalam pasal ini masuk dalam kualifikasi tindak pidana. Pasal 170 menegaskan kembali bahwa PHK yang disebabkan kesalahan berat seperti dalam Pasal 158 ayat (1) tidak perlu mengikuti ketentuan Pasal 151 ayat (3) yaitu “bisa tanpa penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.”

Menurut penggungat ketentuan pasal-pasal di atas jelas telah melanggar prinsip-prinsip pembuktian terutama asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) dan kesamaan di depan hukum sebagaimana dijamin oleh UUD 1945.

Seharusnya bersalah tidaknya seseorang diputuskan lewat pengadilan dengan hukum pembuktian yang sudah pula ditentukan sesuai dengan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Karenanya, pembuktian di luar mekanisme dan aturan tersebut harus dipandang sebagai tidak dapat membuktikan kesalahan apa pun.

Lebih lanjut dalam pertimbangan lain penggunggat juga menyampaikan Undang-undang ini selain melegalisasi pembuktian tindak pidana di luar jalur pengadilan dan aturan pembuktian berdasarkan undang-undang juga melanggar asas praduga tak bersalah dan bersifat diskriminasi, karena begitu pengusaha dapat memenuhi pembuktian sesat berdasarkan UU a quo maka buruh langsung dapat di-PHK tanpa ada kesempatan untuk mengajukan pembelaan diri, karena PHK dapat dilakukan tanpa melalui penetapan seperti pada PHK karena alasan lainnya.

2. Pendapat Majelis terhadap gugatan a quo.

Menimbang bahwa Mahkamah dapat menyetujui dalil para Pemohon bahwa Pasal 158 undang-undang a quo bertentangan dengan UUD 1945 khususnya Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan bahwa segala warganegara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan imparsial, melainkan cukup hanya dengan keputusan pengusaha yang didukung oleh bukti-bukti yang tidak perlu diuji keabsahannya menurut hukum acara yang berlaku. Di lain pihak, Pasal 160 menentukan secara berbeda bahwa buruh/pekerja yang ditahan oleh pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana tetapi bukan atas pengaduan pengusaha, diperlakukan sesuai dengan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang sampai bulan keenam masih memperoleh sebagian dari hak-haknya sebagai buruh, dan apabila pengadilan menyatakan buruh/pekerja yang bersangkutan tidak bersalah, pengusaha wajib mempekerjakan kembali buruh/pekerja tersebut. Hal tersebut dipandang sebagai perlakuan yang diskriminatif atau berbeda di dalam hukum yang bertentangan dengan UUD 1945, dan ketentuan Pasal 1 ayat (3) yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, sehingga oleh karena itu Pasal 158 harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

3. Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan (SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005)

Sehubungan dengan Putusan MK Nomor 012/PPU-1/2003 tanggal 28 Oktober 2004 Tentang Hak Uji Materil Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan Terhadap Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan telah dimuat dalam Berita Negara Nomor 92 Tahun 2004 tanggal 17 Nopember 2004, maka untuk memberikan kejelasan bagi masyarakan, dipandang perlu menerbitkan Surat Edaran.

Pada pokoknya Menteri Ketanagakerjan mengeluarkan Edaran bahwa Pasal 158 dan Pasal lainnya dalam UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan ditegaskan kembali bahwa tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, Pengusaha yang akan melakukan PHK dengan alasan pekerja/buruh melakukan kesalahan berat (eks Pasal 158 ayat (1), maka PHK dapat dilakukan setelah ada putusan hakim pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Apabila pekerja ditahan oleh pihak yang berwajib dan pekerja/ buruh tidak dapat melaksanakan pekerjaan sebagaimana mestinya maka berlaku ketentuan Pasal 160 Undang – undang Nomor 13 Tahun 2003.

Kemudian Dalam hal terdapat “alasan mendesak” yang mengakibatkan tidak memungkinkan hubungan kerja dilanjutkan, maka pengusaha dapat menempuh upaya penyelesaian melalui lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Maksud alasan mendesak ialah terhadap dilakukannya PHK tetap melalui perundingan mengacu ke Pasal 151 UU Ketenagakerjaan (2) “Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.” (3) Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Dari bunyi pasal tersebut PHK harus disepakati dalam perundingan bipartit, kemudian jika para pihak tidak menemukan suatu kesepakatan maka PHK dapat dikatakan sah sepanjang telah ditetapkan oleh Disnaker setempat.

4. Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 03 Tahun 2015.

SEMA adalah salah satu bentuk peraturan yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung (MA). Pada tahun 2015 MA melalui SEMA 03/BUA.6/HS/SP/XII/2015 pada tanggal 29 Desember 2015 Tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar MA Tahun 2015 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan salah satunya Rumusan Hukum Kamar Perdata dalam Perdata Khusus huruf e “Dalam hal terjadi PHK pekerja/buruh karena alasan melakukan kesalahan berat ex pasal 158 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Pasca Putusan MK Nomor 012/PUU-I/2003, tanggal 28 Oktober 2004), maka PHK dapat dilakukan tanpa harus menunggu putusan pidana berkekuatan hukum tetap (BHT).”

Dalam Surat Edaran tersebut penerapan sistem kamar di Mahkamah Agung RI salah satunya bertujuan untuk menjaga kesatuan penerapan hukum dan konsistensi putusan. Rapat pleno kamar untuk membahas permasalahan hukum (questions of law).

MA memiliki pandangan lain terkait hal ini lantas bagaimana kedudukan SEMA No. 03 Tahun 2015 terhadap Putusan MK ex Pasal 158 UU Ketenagakerjaan

Pasal 158 UU Ketenagakerjaan pasca Putusan MK, SE Menakertrans dan SEMA

Pasca Putusan MK menteri ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan yang pada intinya mempertegas kembali putusan MK bahwa ketentuan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan tidak mempunyai hukum mengikat.

Kemudian pada tahun 2015 MA melalui SEMA mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan yang menyebutkan bahwa ex Pasal 158 pasca putusan MK terhadap PHK Kesalahan Berat dapat dilakukan tanpa menunggu putusan pengadilan bersifat tetap inkracht. Penulis akan mengulas kedudukan SEMA serta dikaitkan dengan Putusan MK ex Pasal 158 UU Ketenagakerjaan.

A. Sejarah & Dasar Hukum SEMA
Dilihat dari sisi historis MA pernah membatalkan beberapa pasal dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Dalam SEMA tersebut, MA menjelaskan bahwa Pasal-Pasal yang dibatalkan tersebut sudah tidak memenuhi rasa keadilan rakyat Indonesia. Hal ini dapat kita pahami, dikarenakan BW merupakan produk hukum Belanda yang telah dirubah dari aslinya untuk kepentingan menjajah rakyat Indonesia.
Dengan lain perkataan: apakah Burgelijk Wetboek yang bersifat kolonial ini, masih pantas harus secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai undang – undang.
Namun apabila dilihat dari sisi formil SEMA bukanlah suatu peraturan perundang – undangan pertama jika dilihat dari bentuknya, SEMA tidak memiliki bentuk formal yang serupa dengan peraturan perundang-undangan pada umumnya.
Umumnya Peraturan Perundang-Undangan memiliki bagian-bagian pembentuk seperti Penamaan, Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penutup.
Bagian-bagian tersebut tidak utuh kita jumpai dalam SEMA. Alasan berikutnya, dilihat dari segi penamaan “Surat Edaran”, dalam buku Perihal Undang-Undang karya Prof. jimmly Asshidiqie
Surat Edaran diklasifikasikan dalam aturan kebijakan atau quasi legislation. Oleh karena itu, jika kita lihat dari segi penamaan dengan mengacuhkan dasar hukum keberlakuan tiap-tiap surat edaran. Maka dapat diasumsikan bahwa SEMA adalah sebuah peraturan kebijakan.
Terakhir dilihat dari obyek norma, SEMA memang ditunjukan kepada hakim, ketua pengadilan, panitera, ataupun pejabat dalam lingkungan peradilan sehingga sesuai dengan sifat aturan kebijakan yang mengatur kedalam internal.Dalam hal ini obyek normanya adalah hakim, ketua pengadilan, panitera dan pejabat dalam lingkungan peradilan yang diartikan sebagai badan atau pejabat administrasi. Sehingga dapat kita asumsikan SEMA merupakan Peraturan kebijakan.
Saat ini, dasar hukum yang dapat menjadi pedoman dalam menjelaskan kedudukan Surat Edaran Mahkamah Agung adalah Pasal 79 Undang-Undang No. 14 Tahun 1985 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang – undang No. 5 Tahun 2004 dan diubah dengan Undang – undang No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
“Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang ini”.

Kemudian jika kita lihat dalam Undang – undang No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan. Pasal 8 (1) Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Bank Indonesia, Menteri, badan, lembaga, atau komisi yang setingkat yang dibentuk dengan Undang-Undang atau Pemerintah atas perintah Undang-Undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau yang setingkat. (2) Peraturan Perundang-undangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang – undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.

Baca juga : Peserta BP Jamsostek, BLT Pemerintah Cair Agustus ini !

B. Pendapat Para Ahli

Peraturan MA atau PERMA pada dasarnya adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan, Surat Edaran MA atau SEMA bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi (Henry P. Panggabean, 2001: 144).

Fatwa MA berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Surat Keputusan Ketua MA atau SK KMA adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua MA mengenai satu hal tertentu.

Dalam literatur kewenangan dan tugas demikian disebut sebagai fungsi pengaturan atau regelende functie MA. Ini juga sejalan dengan rumusan Pasal 79 UUMA, yang mengatur “MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini. (Henry P. Panggabean, 2001: 143).

Dalam konteks itulah kita seyogianya membaca produk hukum MA berikut: (i) PERMA; (ii) SEMA; (iii) Fatwa; dan (iv) SKKMA.

Namun hingga saat ini terdapat SEMA yang membatalkan peraturan perundang-undangan dan masih berlaku hingga saat ini, contohnya SEMA Nomor 3 Tahun 1963. Penulis berpendapat bahwa SEMA tersebut merupakan bagian dari fungsi rule making power yang dimiliki MA, alasanya adalah dikarenakan pembentukan SEMA tersebut dilakukan karena situasi yang memaksa dimana aturan perundang-undangan yang lama dirasa tidak lagi mencerminkan rasa keadilan di masyarakat. SEMA tersebut berlaku umum dan memiliki kekuatan hukum mengikat layaknya peraturan perundang-undangan yang dibatalkan dan berlaku hingga dicabut atau diganti dengan peraturan perundang-undangan yang baru.

Pasal 158 UU No. 13 Tahun 2003 Pasca Putusan MK, SE Menteri Ketenagakerjaan dan SEMA

Sumber gambar : pexels.com

Penulis berpendapat jika SEMA No. 3 Tahun 1963 ini bersifat regeling, Jika ditinjau dari sifatnya SEMA memiliki dua sifat yaitu bleidsregel bersifat norma mengatur kebijakan dan regeling bersifat peraturan

C. SEMA “menyimpangi” Putusan MK

Putusan MK merupakan putusan yang bersifat final dan mengikat, memang sampai saat ini tidak secara tegas bahwa kata mengikat merupakan juga sifat dari Putusan MK. Jika kita lihat dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 (hasil perubahan).

Ketentuan tersebut relatif tegas mengatakan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final…” 25 Lalu, diktum Pasal 10 ayat (1) UU 24/2003 tentang MK menegaskan kembali, MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya final untuk menguji UU terhadap UUD 1945, memutus sengketa kewenangan antar lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945. Apabila ketentuanketentuan tersebut dibaca secara cermat maka dari dua tingkat instrumen hukum yang berbeda itu tidak ada satu pun yang mencantumkan kata mengikat (binding). Akibat tidak dapat dibanding maka putusan final secara normatif harus mengikat.

Lebih lanjut putusan MK dengan kewenangannya konstitusional putusannya berlaku secara general, tidak hanya mengikat sepihak (interpares), namun berlaku umum berdasarkan prinsip erga omnes.

Klik Unduh UU Naker Lengkap

 

Mengingat Putusan MK berlaku umum tidak terkecuali para pengusaha dan pekerja maka dalam Putusan MK ex Pasal 158 juga berlaku demikian. Lantas bagaimana keberadaan SEMA yang menyimpangi Putusan MK ? Jika dilihat dari sisi historis bahwa terdapat SEMA yang menyimpangi Putusan MK, dalam SEMA No. 7 Tahun 2014 Tentang Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana sebelumnya Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 34/PUU-XI/2013 yang menyatakan Pasal 268 ayat 3 KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) sesungguhnya Inkonstitusional.

Pasal 268 ayat 3 KUHAP mengatur Peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan satu kali namun oleh Mahkamah Konstitusi pasal tersebut dinyatakan Inkonstitusional sehingga peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat dilakukan lebih dari satu kali atau berkali-kali.

Kemudian Mahkamah Agung menerbitkan SEMA No. 7 Tahun 2014 yang berisi tentang peninjauan kembali dalam perkara pidana hanya dapat dilakukan satu kali. SEMA ini “menyimpangi” putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013 yang membolehkan peninjauan kembali dalam perkara pidana dapat dilakukan berulangkali. Meskipun banyak perdebatan diantara para ahli Mahkamah Agung berdalih hal ini demi terwujudnya kepastian hukum permohonan peninjauan kembali.

Profil Kontributor
Mohammad Reza Ramadhan, SH. menyelesaikan pendidikan Ilmu Hukum dengan konsentrasi di bidang hukum perdata & hukum perdata internasional. Saat ini penulis bekerja di perusahaan swasta sebagai HRBP - IR Spv. Penulis juga aktif menulis artikel hukum ketenagakerjaan dan memberikan konseling dalam bidang hukum ketenagakerjaan.

Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui silahkan klik link dibawah ini :

https://duniahr.com/ruang-konsultasi/

Jangan lupa follow sosial media kami :

https://www.instagram.com/duniahrcom/

https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/

Mitra Kolaborasi :

Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Bankloker.com

 

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *