Stay Productive at Work
Pada Rabu 15 September 2021 saya berkesempatan sharing di Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan & Perikanan (PSDKP) KKP. Pada kesempatan tersebut saya sharing tentang how to stay productive at work. Seperti biasa, saya coba rangkumkan apa yang saya sampaikan pada kesempatan tsb pada sebuah tulisan, sebagai berikut:
Fenomena Kerja: Full Kerja atau Full Leha-Leha
Hari ini kita sering terjebak pada 2 kondisi ekstrim saat bekerja: “Full Kerja, Kurang Liburan” atau “Full Leha-Leha, Ngga Ada Kerjaan”.
Ada beberapa faktor yang mungkin terjadi, sbb:
- Pada kondisi seperti saat ini, nampaknya hampir semua perusahaan sedang dalam kondisi survival mode. Tekanan untuk bisa bertahan menghadapi pandemi, sedikit banyak memperbesar tekanan perusahaan ke karyawan. Maka wajar kalo pola kerja WFH yang sekarang banyak diterapkan di perusahaan tidak seperti apa yang diharapkan. Tingkat stress meningkat saat WFH.
- Beberapa yang lain, WFH seperti hilang kontrol. Kalo dulu kerja di kantor merasa diawasi atasan, pola kerja WFH seakan aji mumpung. Mumpung ngga ada bos.
- Selain 2 hal di atas, fenomena ini juga bisa terjadi karena terpusatnya kepercayaan atasan ke 1-2 bawahan saja. Bawahan yang dirasa bagus, akan mendapatkan beban kerja lebih. Sedangkan yang dirasa kurang, akan “dibiarkan”. Satu sisi, bawahan yang dirasa bagus tentu mendapatkan kesempatan belajar yang lebih, tapi perlu diingat bahwa setiap kita punya kapasitas. Teman2 bawahan yang kurang bagus juga jadi semakin sedikit kesempatan untuk belajarnya, padahal kalo di dunia kerja, pemberian tugas adalah salah satu cara kita untuk belajar melalui experience dan pemberian feedback berkelanjutan.
Hingga akhirnya akan ada orang2 yang sibuk dan memasuki kondisi distress, serta ada orang2 yang leha-leha dan gitu2 aja. Kalo dia STAR (best performers dan best potential), sayang aja kalo jadi ngga betah kerja karena ketidak-adilan pembagian kerja. Kalo yang dia biasa aja, dia bisa jadi semakin “terpuruk” dalam konteks pembelajaran. Tiada ruang belajar bagi mereka.
The Meaning of Productive
Menurut teman-teman productive itu apa sih? Kita seringkali terjebak memaknai produktif itu pada waktu yang kita habiskan dalam suatu pekerjaan atau terjebak pada rentetan aktivitas yang kita kerjaan tanpa melihat hasil dari aktivitas tsb.
Productive at Work adalah kondisi dimana kita bisa mencapai ouput dan outcome kerja sesuai dengan ekspektasi yang ada. Kata kuncinya: ouput/outcome. Pada sisi atasan, hal ini memberikan makna bahwa setiap orang punya cara, tidak perlu kita menjaga dan mengarahkan caranya.
Biarkan generasi hari ini mencari caranya sendiri. Berikan ruang-ruang kreasi & pembelajaran kepada mereka. Fokus saja dalam mengawasi, menilai dan memberikan feedback berkelanjutan dari ouput/outcome yang dihasilkan.
Pada sisi bawahan, bawahan diharapkan proaktif bertanya kepada atasan, ekspektasi output/ outcome seperti apa yang diharapkan. Pada proses eksekusinya, pasti dibutuhkan support dari atasan dan bagian yang lain. Hal itu juga bisa disampaikan dan dikomunikasi oleh bawahan kepada pihak-pihak terkait tsb.
Teori-Teori terkait Employee Productivity
4 Motivation Traps at Work
Produktivitas sangat dipengaruhi oleh motivasi karyawan. Karyawan yang memiliki motivasi yang tinggi cenderung produktif. Pada konteks pekejaan, ada 4 Motivation at Work (source: HBR) yang perlu teman-teman waspadi, sebagai berikut:
- Values Mismatch: I don’t care enough to do this.
- Lack of Self-Efficacy: I don’t think I’m able to do this.
- Disruptive Emotions: I’m too upset to do this.
- Attribution Errors: I don’t know what went wrong with this.
Employee Engagement Concept
Sejauh ini, belum ada definisi baku terkait dengan Employee Engagement. Employee Engagement adalah kondisi dimana keterlekatan/keterikatan karyawan dengan perusahaan yang berdampak pada peningkatan job statisfaction dan loyalitas dan pada akhirnya meningkatkan motivasi karyawan mengeluarkan effort terbaiknya untuk perusahaan.
Terdapat 4 dimensi Employee Engagement sebagai berikut (source: Deloitte):
- Meaningful Work, berbicara purpose, mission, autonomy dan empowerment. Meaningful Work terjadi saat perusahaan mampu membantu karyawan untuk mengiriskan purpose of life dan values dalam diri mereka dengan purpose dan mission perusahan. Hal ini sejalan dengan bahasan mengenai motivation trap at work dari teman2 HBR. Salah satu faktor dari turunnya motivasi karyawan dalam bekerja adalah ketidakmampuan mereka mengiriskan antara values perusahaan dan values pribadinya. Selain itu, meaningful work adalah munculnya rasa memiliki yang kuat karena adanya autonomy dan empowerment dalam bekerja. Gen Y dan Gen Z adalah generasi yang paling tidak suka di micro manage. Mereka lahir dengan segala kemudahaan teknologi, yang sedikit banyak mempengaruhi cara mereka bekerja dan memilih solusi atau cara. Kalo ada yang mudah, kenapa dibuat repot. Mereka seringkali menemukan cara mereka sendiri dalam menyelesaikan masalah.
- Supportive Management, berbicara tentang kejelasan ekspektasi. Apa yang harus dicapai karayawan, dan dukungan management untuk karyawan mencapai goals tsb. Dukungan berupa kesempatan untuk mendapatkan pelatihan, coaching dan mentoring dari atasan, termasuk mendapatkan feedback secara berkelanjutan atas hasil kerja karyawan. Hal ini sedikit banyak mempengaruhi cara kerja L&D. L&D bukan sekedar training provider, tapi lebih dari itu harus mampu menciptakan learning environment yang kondusif termasuk membekali para atasan untuk bisa menjadi coach, mentor dan feedback provider yang baik untuk bawahannya. Hal ini juga sejalan dengan bahasan motivation trap dari HBR yang menjelaskan bahwa salah satu yang membuat karyawan demotivasi adalah lack of self-efficacy dan attribution error.
- A Positive Work Environment, beberapa kata kunci terkait dengan positive work untuk Gen Y adalah flexibility, humane, inclusive, recognition, collaboration. Remote working atau teleworking atau WFH akan terus menjadi trend ke depan. Semua orang semakin menyadari tentang eksistensi manusia. Manusia harus dipandang secara utuh: tidak hanya akal dan fisik, tapi juga hati, ruh dan mental. Jika sebelumnya perusahaan hanya mengurusi ranah profesional, ke depa perusahaan harus semakin peduli dan masuk ke ranah personal/ familiy karyawan. Lingkungan kerja yang kondusif dan saling memberikan recognisi atau apreasiasi atas capaian dari masing2 anggota organisasi. Terbentuk trust yang tinggi antar karyawan yang pada akhirnya akan membangun organizational trust. Kondisi ini akan mengurangi distruptive emotion, yang bisa membuat karyawan terdemovitasi.
- Growth Opportunity, berbicara tentang kesempatan karyawan untuk belajar dan eksplorasi. Continuous Learning, bahwa belajar tidak hanya bicara education tapi juga exposure, experience dan environment. Kesempatan untuk mengikuti program-program pelatihan profesional, termasuk bekerja dan mendapatkan coaching dan mentoring dari para profesional yang lain. Kesempatan untuk bertumbuh secara career baik sebagai individual contributor atau manajer. Selain itu, bagi Gen Z, mereka expect mereka mendapatkan kesempatan untuk mencoba dan mengeksplorasi function lain diluar dari apa yang sekarang mereka sudah dalami, maka internal mobility program menjadi penting. Ditengah kecepatan pertumbuhan bisnis yang ada, perusahaan harus tetap memberikan ruang untuk karyawan mencoba role baru di function yang lain.
- Trust in Leadership, berbicara tentang hadirnya inspirational leaders yang memiliki concern terhadap people, mampu berkomunikasi apa adanya, dan memiliki kemampuan untuk mengartikulasikan mission, vision dan purpose dari organisasi. Inpirastional leaders di sini adalalah leadership level 5 yang merupakan kombinasi antara humality dan professional will.
Work-life Balance
Istilah work-life balance cenderung memisahkan antara dunia kerja/ profesional dengan dunia personal/ family dengan proporsi waktu yang sama. Sekian jam untuk personal/ keluarga, sekian jam untuk pekerjaan. Padahal faktanya pada setiap rentang waktu, kita memiliki prioritas yang berbeda. Pada satu momen, kita dituntut untuk mengejar target yang diharapkan, disisi lain kita juga sering mengambil jam kerja untuk urusan personal/ familiy, dengan proporsi waktu yang terus berubah.
Kalo menurut David Sedaris, dia dengan tegas mengatakan bahwa bahwa Work-Life Balance itu tidak ada. Ada istilah “The Burners Theory”, manusia memiliki “four burners” sbg berikut:
- The first burner represents your family.
- The second burner is your friends.
- The third burner is your health.
- The fourth burner is your work.
The Four Burners Theory mengatakan bahwa “in order to be successful you have to cut off one of your burners. And in order to be really successful you have to cut off two.” Pada satu rentang waktu, kita memang harus memilih 2 hal dan “mengorbankan” 2 hal.
Maka hari ini kita lebih mengenal istilah Work-Life Harmony/ Work-Life Integration. Bagaimana kita mengatur sedemikian rupa, menyatukan, mengintegrasikan & menghamarmoniskan kehidupan personal/ familiy dan profesional. Satu waktu, kita memakai jam kerja untuk ngurusin anak, disisi lain, kita menghabiskan malam kita untuk bekerja dan mengejar target2 pekerjaan yang ada. Apalagi pada kondisi WFH seperti saat ini. Dimana ruang kerja dan ruang personal/ family menjadi satu kesatuan. Masalah2 personal/family dan pekerjaaan bercampur jadi satu. Patokannya apa? tercapainya target/KPI/OKR yang disematkan ke kita. Bagaimana mencapainya? saat itulah kita mencoba mengatur waktu antara personal/family dan pekerjaan agar tetap harmonis.
How to Stay Productive
Image by Free-Photos from Pixabay
Self Awareness: Purpose & Mission of Life, Belief & Value.
Hal yang mendasar yang harus kita lakukan adalah membangun motivasi. Dengan motivasi, kita memiliki energi lebih untuk bisa mengerjakan banyak hal dalam hidup dan pekejaan kita. Motivasi adalah sumber energi yang sering lebih besar dari kapasitas energi fisik yang kita miliki. Sejarah telah mengukir orang-orang dengan keterbatasan fisik, mereka tetap mampu membangun legacy ntuk orang-orang sekitar mereka.
Dan motivasi tertinggi kita sebut dengan instrinsic motivation/ motivasi dari dalam diri. Motivasi ini dirasa lebih awet bertahan di dalam diri. Kebanyakan kita termotivasi dari luar, masuk ruang training motivasi, mengebu-gebunya luar biasa. Karena memang environment pelatihannya dibuat sedemikian rupa untuk mendukung itu. Tapi setelah keluar ruang training, bablas, motivasi itu hanya bertahan 1-2 hari. Setelah itu, kita kembali seperti kita sebelumnya.
Lalu bagaimana membangun instrinsic motivation? caranya gampang2 sulit. Yaitu dengan membangun self awareness, dengan mengenal diri sendiri, kita bisa dengan mudah mengiriskan value dalam diri kita dengan value yang sedang diperjuangkan di tempat kita bekerja.
Lalu, apa sih value?
Value adalah sesuatu yang kita nggap penting. Bedanya dengan belief, belief adalah sesuatu yang kita yakini benar/salah. Kalo apa yang kita anggap penting, sama dengan apa yang dianggap perusahaan penting, maka akan muncul instrinsic motivation yang tinggi.
Hal yang lebih mendasar adalah menemukan alasan/maksud keberadaaan kita atau disebut purpose of life. Tugas spesifik apa yang mau kita ambil guna menjawab maksud keberadaan kita atau disebut dengan mission of life. Jika purpose & mission of life memiliki makna yang sama atau terjawab dengan bekerjanya kita disebuah perusahaan, maka akan muncul instrinsic motivation. Karena sesungguhnya pada kondisi itu kita tidak sedang mengejar taget perusahaan tapi target diri kita sendiri.
Expand Your Circle of Control.
Kita memiliki 3 circle, yaitu Circle of Control, Influence dan Concern. Ketidakmampuan kita menempatkan sesuatu pada control kita biasanya disebabkan 2 hal:
- Memang bukan control atau authority kita,
- atau masih control dan authority kita namun kita tidak punya waktu untuk itu atau mepet deadline sehingga seakan diluar control kita untuk mencapai output terbaik.
Hal ini bisa dihindari dengan menjadi proactive. Proactive ini mampu meningkatkan sense of crisis kita yang pada akhinrya membuat kita peka menangkap kebutuhan tertulis dan tidak tertulis guna menjawab ekspektasi dari Atasan.
Keep Mindful & Presence
Ada 2 kondisi yang sering kali menggangu pikiran dan pada akhirnya menggangu produktivitas kita, yaitu:
- Memikirkan berlebihan hal yang telah lalu, dan tenggelam pada penyesalan akibat hal tsb.
- Memikirkan hal yang belum terjadi, dan muncul kecemasan yang berlebihan.
Mindful disini adalah melihat kemarin sebagai history, besok sebagai mistery dan kita fokus hari ini sebagai hadiah dan kesempatan yang tidak boleh dilewatkan begitu saja.
Buat to do list harian dengan pendekatan EISENHOWER MATRIX. Matrix ini dibagi menjadi 4 kuadran dengan sumbu x “importance” dan sumbu y “urgency”.
- High Importance & High Urgency: Do
- High Importance & Low Urgency: Schedule
- Low Importance & High Urgency: Delegate
- Low Importance & Low Urgency: Eliminate
Selain itu, kita juga bisa membuat Priority Matrix Planning dalam konteks pelaksaan program kerja. Matrix ini dibagi menjadi 4 kuandran dengan sumbu x “effort” dan sumbu y “impact”. Bahwa apa-apa yang kita kerjakan akan dibagi menjadi:
- Low Impact & Low Effort: Fills-in
- Low Impact & High Effort: Thanksless Task
- High Impact & Low Effort: Quick Wins
- High Impact & High Effort: Major Project
Communicate Your Obstacle
Pada perjalan membangun produktivitas guna mencapai output kerja yang diharapkan, kita sering kali mendapati kendala. Mengkomunikasikan kendala menjadi penting, karena:
- Orang lain dan atasan bukan dukun, apalagi sekarang WFH, mereka bisa menebak apa yang kita hadapi/kendala kita.
- Jangan sampai udah jatuh tertimpa tangga. Udah pusing mikirin kerjaan sendiri, disalahkan lagi karena pada akhirnya ngga perform.
Perihal ini, ada 2 hal mendasar yang memang perlu dipenuhi
- Psychological Safety. Membangun kenyamanan karyawan untuk menyampaikan apa yang menjadi kendala mereka
- Kesiapan atasan untuk menjadi Coach, Mentor dan Feedback Provider bawahannya.
Ultradian Rhythm
Ultradian Rhythm mengajarkan bahwa pada selang 90 menit bekerja, kita butuh “ultradian healing process”, istirahat sejenak dan melakukan aktivitas yang berbeda. Pada rentang 90 menit kita akan mencapai puncak performance pada kondisi optimal arousal. Namun jika terus dipaksakan optimal arousal tsb akan menurun dan beralih ke stress.
Perjalan karir dan kontribusi kita di kantor adalah sebuah mataron, bukan sprint. Maka penting untuk menjaga ritme guna terus mengharmoniskan kehidupan personal dan professional yang pada akhirnya akan meningkatkan kinerja kita secara berkelanjutan.
Semoga bermanfaat!
Hendra Etri Gunawan
Head of Academy at Amartha
Profil Kontributor |
---|
Hendra Etri Gunawan | Head of Academy at Amartha | Indonesia Future HR Leader 2019 | Speakership for several topics related to learning design, digital talent, agile leadership, leader as coach, HR for Non HR, agile organization, organization culture, innovation culture, growth mindset, etc | Having experience in Human Capital Management with the demonstrated history of working in the private sector, public sector & e-commerce (startup) sector | Having skills in Talent Management, Performance of Management System, Organizational Development, People Development, Organizational Culture, & Employee Engagement | Having A Strong Performance as a Professional Human Capital Management with Certified Human Resources Professional (C.HRP), Certified Neuro Linguistic Programming (C.NLP) & Loop Certified Corporate Coach (LCCC). |
[MN]
Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui kini lebih mudah melalui forum WAG Dunia HR Discussion:
Dukung dan support kegiatan Dunia HR dengan cara follow/subscribe:
Instagram: https://www.instagram.com/duniahrcom/
Youtube: https://www.youtube.com/channel/UCnIChHnIPZEz5BqB0jTxoxQ
Linkedin: https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/
Mitra Kolaborasi :
Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Bankloker.com
Komunitas Belajar HR sesuai SKKNI PeopleUp
Konsultan SDM & Layanan Transformasi Organisasi HeaRt Squad Indonesia