Teknik Perundingan Bipartit Penyelesaian Hubungan Industrial

Loading

Teknik Perundingan Bipartit Penyelesaian Hubungan Industrial

Kali ini Redaksi DuniaHR.com akan memberikan materi learning di WAG People up session #16 tentang Teknik Perundingan Bipartit Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, sebagaimana sudah disampaikan oleh pemateri Bpk.Yanuar Aditya Putra bahwa materi akan di share dalam bentuk artikel di website DuniaHR.com agar dapat dibaca bukan saja oleh member WAG People up saja tetapi dapat juga dibaca oleh semua orang, selamat membaca.

Menurut Pasal 1 angka 4 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), Perselisihan pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai PHK yang dilakukan oleh salah satu pihak. Jika terjadi perselisihan PHK para pihak sebaiknya tidak langsung membawa perselisihan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Sebaiknya para pihak melakukan perundingan terlebih dahulu yaitu dengan melakukan perundingan bipartit.

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UU No.2 Tahun 2004 tentang PPHI adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Berdasarkan Pasal 3 UU No.2 Tahun 2004 tentang PPHI Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.

Penyelesaian perselisihan melalui bipartit, harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh) hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.

Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. (maka dapat dilanjutkan ke upaya hukum tripartit)

Pada prinsipnya berdasarkan ketentuan yang sudah saya jelaskan di atas, perundingan bipartit harus dilaksanakan oleh kedua belah pihak, yaitu, pekerja/buruh atau serikat pekerja/buruh dengan pengusaha.

Pada Permenakertrans 31/2008, diatur bahwa apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat, buruh pekerja/buruh dapat didampingi oleh pengurus dari serikat pekerja/buruh dari perusahaan tersebut. Sedangkan pihak dari perusahaan atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung (pandangan dari pihak pengusaha) tidak terdapat larangan dalam UU 2/2004 dan Permenakertrans 31/2008 mengenai pekerja/buruh melibatkan kuasa hukum untuk mewakilinya dalam perundingan bipartite (pandangan pekerja yang diwakili oleh Kuasa Hukum)

Dalam melakukan perundingan bipartit, para pihak wajib :

  1. Memiliki itikad baik;
  2. Bersikap santun dan tidak anarkis; dan
  3. Menaati tata tertib perundingan yang disepakati.

Photo by Edmond Dantès from Pexels

Dalam hal salah satu pihak telah meminta dilakukan perundingan secara tertulis 2 (dua) kali berturut-turut dan pihak lainnya menolak atau tidak menanggapi melakukan perundingan, maka perselisihan dapat dicatatkan kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti-bukti permintaan perundingan.

Baca Juga : Asas Hakim Bersifat Pasif / Aktif dalam Persidangan Perkara Perselisihan Hubungan Industrial

Pada umumnya pihak pengusaha cenderung pasif dan pihak pekerja cenderung lebih aktif dalam meminta dialkukan perundingan bipartite.

Tahapan Melakukan perundingan Bipartit:

I. Tahapan Persiapan:
    1. pihak yang merasa dirugikan berinisiatif mengkomunikasikan masalahnya secara tertulis kepada pihak lainnya;
    2. apabila pihak yang merasa dirugikan adalah pekerja/buruh perseorangan yang bukan menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, dapat memberikan kuasa kepada pengurus serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan tersebut untuk mendampingi pekerja/buruh dalam perundingan;
    3. pihak pengusaha atau manajemen perusahaan dan/atau yang diberi mandat harus menangani penyelesaian perselisihan secara langsung;
    4. dalam perundingan bipartit, serikat pekerja/serikat buruh atau pengusaha dapat meminta pendampingan kepada perangkat organisasinya masing-masing;
    5. dalam hal pihak pekerja/buruh yang merasa dirugikan bukan anggota serikat pekerja/serikat buruh dan jumlahnya lebih dari 10 (sepuluh) orang pekerja/buruh, maka harus menunjuk wakilnya secara tertulis yang disepakati paling banyak 5 (lima) orang dari pekerja/buruh yang merasa dirugikan;
    6. dalam hal perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan, maka masing-masing serikat pekerja/serikat buruh menunjuk wakilnya paling banyak 10 (sepuluh) orang.

II. Tahapan Perundingan:

    1. Kedua belah pihak menginventarisasi dan mengidentifikasi permasalahan;
    2. Kedua belah pihak dapat menyusun dan menyetujui tata tertib secara tertulis dan jadwal perundingan yang disepakati;
    3. dalam tata tertib para pihak dapat menyepakati bahwa selama perundingan dilakukan, kedua belah pihak tetap melakukan kewajibannya sebagaimana mestinya;
    4. para pihak melakukan perundingan sesuai tata tertib dan jadwal yang disepakati;
    5. dalam hal salah satu pihak tidak bersedia melanjutkan perundingan, maka para pihak atau salah satu pihak dapat mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja walaupun belum mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja;
    6. setelah mencapai 30 (tiga puluh) hari kerja, perundingan bipartit tetap dapat dilanjutkan sepanjang disepakati oleh para pihak;
    7. setiap tahapan perundingan harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak, dan apabila salah satu pihak tidak bersedia menandatangani, maka hal ketidaksediaan itu dicatat dalam risalah dimaksud;
    8. hasil akhir perundingan dibuat dalam bentuk risalah akhir yang sekurang-kurangnya memuat :
        • nama lengkap dan alamat para pihak;
        • tanggal dan tempat perundingan;
        • pokok masalah atau objek yang diperselisihkan;
        • pendapat para pihak;
        • kesimpulan atau hasil perundingan;
        • tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.
        • rancangan risalah akhir dibuat oleh pengusaha dan ditandatangani oleh kedua belah pihak atau salah satu pihak bilamana pihak lainnya tidak bersedia menandatanganinya;
III. Tahapan Setelah Selesai Perundingan:
    1. Dalam hal para pihak mencapai kesepakatan, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para perunding dan didaftarkan pada Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;
    2. Apabila perundingan mengalami kegagalan maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan kabupaten/kota tempat pekerja/buruh bekerja dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Setiap perundingan bipartit harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak.

Risalah perundingan bipartite sekurang-kurangnya memuat :

  1. nama lengkap dan alamat para pihak;
  2. tanggal dan tempat perundingan;
  3. pokok masalah atau alasan perselisihan;
  4. pendapat para pihak;
  5. kesimpulan atau hasil perundingan; dan
  6. tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan.

Dalam hal musyawarah (perundingan bipartit) dapat mencapai kesepakatan penyelesaian, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani oleh para pihak.

Perjanjian Bersama mengikat dan menjadi hukum serta wajib dilaksanakan oleh para pihak;

Perjanjian Bersama wajib didaftarkan oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian Bersama;

Perjanjian Bersama yang telah didaftar diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.

Dalam hal perundingan bipartit gagal, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

Apabila bukti-bukti tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase.

Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.

Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/ serikat buruh.

Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.

Dasar hukum:

Demikian Materi Learning session #16 ini semoga bermanfaat bagi rekan-rekan sekalian.

Salam,

 

Redaksi DuniaHR.com

File pendukung materi learning :

Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui silahkan klik link dibawah ini :

https://duniahr.com/ruang-konsultasi/

Jangan lupa follow sosial media kami :

https://www.instagram.com/duniahrcom/

https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/

Mitra Kolaborasi :

Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Bankloker.com

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *