Peran Pengawas Ketenagakerjaan dalam Penerapan Waktu Kerja dan Istirahat serta Pengupahan

Loading

Peran Pengawas Ketenagakerjaan dalam Penerapan Waktu Kerja dan Istirahat serta Pengupahan

Latar Belakang

Omnibus law atau undang-undang sapu jagat yang telah di undangkan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 2 November 2020 melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja merupakan harapan dari Pemerintah untuk menyambut bonus demografi pada tahun 2020-2035. Indonesia di prediksi akan mendapat bonus demografi dengan masa puncak di sekitar tahun 2030. Artinya, pada saat-saat itu jumlah masyarakat dengan usia produktif yaitu dengan kisaran umur 15-64 tahun jauh lebih banyak melebihi mereka yang termasuk dalam usia non-produktif (anak-anak dan lansia).

Tentunya harapan dari Pemerintah Indonesia dengan terbitnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja dapat segera menarik minat para investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia sehingga dapat menciptakan banyak lapangan kerja untuk masyarakat Indonesia, apalagi disaat masa pandemi covid 19 yang melanda seluruh dunia, banyak sekali pekerja/buruh yang dilakukan pemutusan hubungan kerja oleh Perusahaan.

Setiap manusia membutuhkan pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Dengan bekerja maka pekerja/buruh mendapatkan upah atas hasil pekerjaan dan/atau jasa yang telah dilakukannya. Berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.

Pemerintah Republik Indonesia telah mengatur tentang waktu kerja dan istirahat serta pengupahan. Peraturan tersebut dibuat sedemikian detailnya agar hak-hak normatif dari pekerja/buruh mendapatkan kepastian hukum dan dapat dilakukan/diberikan oleh perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terkait waktu kerja dan istirahat serta pengupahan, perusahaan dikota telah mengikuti apa yang disyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, karena para pekerja/buruh dikota telah banyak yang mengerti dan memahami akan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan apalagi yang menyangkut dengan hak-hak normatif dari pada para pekerja/buruh itu sendiri.

Namun demikian masih ada saja perusahaan-perusahaan yang beroperasi di daerah terpencil atau remote area yang tidak mematuhi peraturan perundang-undangan mengenai waktu kerja dan istirahat serta pengupahan. Tentunya hal ini dapat disebabkan oleh beberapa kemungkinan, antara lain:

  1. Kesengajaan dari pihak perusahaan untuk memininalisir biaya (pengeluaran perusahaan);
  2. Ketidak tahuan perusahaan dalam penerapan waktu kerja dan istirahat serta pengupahan;
  3. Ketidak tahuan para pekerja/buruh akan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hak normatif yang seharusnya diterima;
  4. Kebutuhan pekerja/buruh akan pekerjaan sehingga tidak ada pilihan selain menerima apa yang diberikan perusahaan sekalipun hak-hak normatif pekerja/buruh dilanggar oleh perusahaan;
  5. Kurangnya pengawasan dari Pengawas Ketenagakerjaan terhadap perusahaan-perusahaan sehingga menyebabkan terjadinya pelanggaran hak-hak normatif dari pekerja/buruh terkait waktu kerja dan istirahat serta pengupahan.

Pelanggaran hak normatif pekerja/buruh terkait dengan waktu kerja dan istirahat serta pengupahan dapat terjadi pada suatu perusahaan yang menggunakan waktu kerja dan istirahat sebagaimana Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor: PER-15/MEN/VII/2005 Tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu, sebagai contoh, yaitu:

  • Upah yang didapat oleh golongan 1 (golongan terendah) lebih tinggi dengan upah golongan 2 (pengawas/supervisi golongan 1), jika dilihat dari waktu kerja dan istirahat serta keahliannya golongan 2 (pengawas/supervisi) seharusnya mendapatkan upah yang lebih tinggi dari pada golongan 1. Apabila hal ini terjadi maka pekerja/buruh merasa terjadi ketidakadilan terkait pengupahan padahal waktu kerja dan istirahat sama.
  • Berdasarkan Pasal 4 ayat 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia Nomor: 102 Tahun 2004, “Pengecualian untuk pembayaran lembur ke mereka yang memiliki tanggung jawab sebagai pemikir, perencana, pelaksana dan pengendali jalannya perusahaan yang waktu kerjanya tidak dapat dibatasi menurut waktu kerja yang ditetapkan perusahaan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku”. Artinya perusahaan dengan bebas dapat menentukan jenis jabatan yang tidak berhak atas upah lembur, akan tetapi bagi pekerja/buruh yang termasuk dalam golongan jabatan tertentu, tidak berhak atas upah kerja lembur, dengan ketentuan harus mendapat upah yang lebih tinggi.

Disinilah dibutuhkan peran dari pengawas ketenagakerjaan untuk menegakan aturan yang berlaku agar terciptanya suatu keadilan bagi seluruh pekerja/buruh terutama hak-hak normatifnya.

Baca Juga : Waktu Kerja dan Waktu Istirahat setelah UU Cipta Kerja

Berdasarkan uraian-uraian yang telah dikemukakan diatas, maka penulis tertarik untuk membuat suatu tulisan dengan judul: “Peran Pengawas Ketenagakerjaan Dalam Hal Penerapan Waktu Kerja Dan Istirahat Serta Pengupahan”.

Rumusan Masalah

Adapun yang menjadi rumusan masalah, yaitu:

  • Bagaimana Peran Dari Pengawas Ketenagakerjaan Terkait Waktu Kerja Dan Istirahat Serta Pengupahan Yang Diberlakukan Oleh Perusahaan
Analisa
Berdasarkan Pasal 1 angka 9 disebutkan: Pengawasan Ketenagakerjaan adalah kegiatan mengawasi dan menegakan pelaksanaan peraturan perundang-undangan dibidang ketenagakerjaan.

Pengawasan Ketenagakerjaan merupakan fungsi negara dalam penegakan hukum ketenagakerjaan. Pengawasan Ketenagakerjaan bertujuan untuk memastikan dilaksanakannya Norma Ketenagakerjaan di Perusahaan atau ditempat kerja,

Pengawasan Ketenagakerjaan berfungsi:

  1. Menjamin penegakan hukum ketenagakerjaan;
  2. Memberikan penerangan dan penasihatan teknis kepada Pengusaha dan Pekerja/Buruh mengenai hal-hal yang dapat menjamin efektifitas pelaksanaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan;
  3. Mengumpulkan bahan keterangan mengenai hubungan kerja dan keadaan ketenagakerjaan dalam arti seluas-luasnya sebagai bahan penyusunan atau penyempurnaan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan.

Berdasarkan fungsinya, seharusnya Pengawas Ketenagakerjaan dapat segera mendeteksi terkait pelanggaran-pelanggaran norma kerja yang telah dilakukan oleh Perusahaan agar dapat terciptanya suatu keadailan bagi seluruh pekerja/buruh.

Mendeteksi pelanggaran norma kerja dapat dilakukan Pengawas Ketenagakerjaan yaitu dengan rencana kerja pengawasan, yang memuat kegiatan:

  1. Pembinaan;
  2. Pemeriksaan;
  3. Pengujian; dan/atau
  4. Penyidikan tindak pidana ketenagakerjaan.

Pelaksanaan Pengawasan Ketenagakerjaan dilakukan melalui tahapan:

  1. Preventif edukatif, yaitu merupakan kegiatan pembinaan sebagai upaya pencegahan melalui penyebarluasan norma ketenagakerjaan, penasihatan teknis, dan pendampingan.
  2. Represif non yustisial, yaitu merupakan upaya paksa diluar lembaga pengadilan untuk memenuhi peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan dalam bentuk Nota Pemeriksaan sebagai peringatan atau surat pernyataan kesanggupan pemenuhan peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan berdasarkan pemeriksaan dan/atau pengujian.
  3. Represif yustisial, yaitu merupakan upaya paksa melalui Lembaga pengadilan dengan melakukan proses penyidikan oleh Pengawas Ketenagakerjaan selaku PPNS Ketenagakerjaan.

Selain itu Pengawas Ketenagakerjaan juga mempunyai fungsi untuk melakukan pembinaan. Pembinaan tersebut dapat dilakukan melalui kegiatan penasihatan teknis, sosialisasi, pelatihan, temu konsultasi, diskusi dan pendampingan.

Dan fungsi Pengawas Ketenagakerjaan yang terakhir adalah pemeriksaan. Pemeriksaan tersebut terdiri atas:

  1. Pemeriksaan pertama;
  2. Pemeriksaan berkala;
  3. Pemeriksaan khusus;
  4. Pemeriksaan ulang.

Jika dilihat dari fungsi Pengawas Ketenagakerjaan, maka seharusnya tidak ada celah bagi Perusahaan/Pengusaha untuk melakukan pelanggaran hak-hak normatif dari para pekerja/buruh jika fungsi tersebut sungguh-sungguh dilakukan dengan benar.

Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005 mengatur tentang waktu kerja dan istirahat pada sektor usaha pertambangan umum pada daerah operasi tertentu. Bukan hanya perusahaan pertambangan yang menggunakan waktu kerja dan istirahat sebagaimana Permenakertrans Nomor PER-15/MEN/VII/2005, industri smelter nikel juga menerapkan waktu kerja dan istiahat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 Permenakertrans Nomor PER-15/MEN/VII/2005 Juncto Lampiran I Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral No. 28 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batu Bara.

Dapat dibayangkan jika dalam suatu daerah tertentu (remote area) yang dapat dikatakan bahwa lebih banyak tingkat pengangguran dibandingkan lapangan pekerjaan dan Perusahaan melakukan pelanggaran hak-hak normatif dari pada pekerja/buruh. Tentu dapat dipastikan pekerja/buruh tidak mau melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh Perusahaan karena merasa takut dan terancam di lakukan PHK oleh Perusahaan.

Apabila hal seperti ini terjadi dan berlangsung cukup lama, sudah berapa banyak hak-hak dari pada pekerja/buruh yang telah dikebiri oleh Perusahaan? Apakah penegakan hukum di Indonesia ini tidak berjalan dengan baik? Padahal jika dilihat dari peraturan perundang-undangan yang telah dibuat oleh Pemerintah Republik Indonesia untuk melindungi hak-hak normatif para pekerja/buruh sudah sangat baik. Hanya saja peran dari Pengawas Ketenagakerjaannya yang tidak dimaksimalkan sehingga pelanggaran-pelaggaran tersebut dapat terjadi.

Soerjono Soekanto berpendapat bahwa penegakan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan didalam kaidah-kaidah/pandangan nilai yang mantap dan mengejewantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

Penegakan hukum secara konkret ialah berlakunya hukum positif di dalam praktik yang harus ditaati oleh seluruh Perusahaan tanpa terkecuali. Jadi, memberikan keadilan di dalam suatu perkara berarti memutuskan hukum in concreto di dalam menjamin dan mempertahankan di taatinya hukum materiil dengan menggunakan cara prosedural yang ditetapkan oleh hukum formal.

Sedangkan keadilan menurut Aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan diartikan sebagai titik tengah diantara kedua ujung ekstrem yang terlalu banyak atau terlalu sedikit. Kedua ujung ekstrem tersebut menyangkut dua orang atau benda. Bila kedua orang tersebut mempunyai kesamaan dalam ukuran yang telah ditetapkan, maka masing-masing orang akan menerima bagian yang tidak sama, sedangkan pelanggaran terhadap proporsi tersebut adalah ketidak adilan.


Photo by August de Richelieu from Pexels

Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Struktur Dan Skala Upah, Pasal 1 ayat 1 menyebutkan: Struktur Upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah. Pasal 1 ayat 2 menyebutkan: Skala Upah adalah kisaran nilai nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan. Kemudian dalam Pasal 2 ayat 1 disebutkan: Struktur dan Skala Upah wajib disusun oleh Pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.

Berdasarkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Struktur Dan Skala Upah maka Perusahaan wajib mempunyai struktur dan skala upah yang mana dalam Permenaker tersebut telah disebutkan juga persyaratan yang harus dilakukan oleh Perusahaan.

Kemudian jika dikaitkan dengan waktu kerja dan istirahat sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005 Tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu dan Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Lembur maka Perusahan dalam menetapkan waktu kerja dan istirahat serta pengupahan bagi pekerja/buruh haruslah memperhatikan upah yang akan diterima pekerja/buruh dalam tingkatan golongan jabatan atau level.

Sebagai contoh: pekerja/buruh golongan terendah upahnya dapat dipastikan lebih rendah dari upah pekerja/buruh diatasnya. Begitu juga dengan waktu kerja dan istirahat yang berlaku dalam suatu perusahaan, bilamana suatu golongan tidak berhak atas upah lembur maka upah yang diterima oleh pekerja/buruh haruslah diatas upah kerja lembur dan diatas upah golongan dibawahnya.

Kesimpulan

Adapun yang menjadi kesimpulan yaitu:

  • Terjadinya pelanggaran hak-hak normatif pekerja/buruh yang dilakukan perusahaan di area terpencil (remote area) khususnya perusahaan pertambangan dan perusahaan industri pengolahan yang menggunakan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005 Tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu.
  • Dalam penetapan dan penerapan struktur dan skala upah oleh Perusahaan masih ada terjadi pelanggaran-pelanggaran hak normatif pekerja/buruh jika dikaitkan dengan waktu kerja dan istirahat pekerja/buruh khususnya bagi perusahaan yang menerapkan waktu kerja dan istirahat berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005 Tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu.
  • Peran dari Pengawas Ketenagakerjaan tidak berjalan dengan maksimal sehingga terjadi pelanggaran hak-hak normative dari pekerja/buruh khususnya dalam hal penguahan jika dikaitkan dengan waktu kerja dan istirahat yang diberlakukan
Saran

Adapun yang menjadi saran adalah:

  1. Kehadiran Pemerintah dalam hal ini Pengawas Ketenagakerjaan ditengah-tengah perusahaan dan pekerja/buruh sangatlah dibutuhkan dan memegang peranan penting. Dibutuhkan sosialisasi dari Pengawas Ketenagakerjaan sebagai bentuk penerangan atau pencerahan peraturan ketenagakerjaan baik kepada perusahaan agar tidak terjadi pelanggaran hak-hak normatif dari pekerja/buruh khususnya waktu kerja dan istirahat serta pengupahan.
  2. Peran Pengawas Ketenagakerjaan sangat dibutuhkan oleh pekerja/buruh dalam memeriksa struktur skala upah yang diberlakukan perusahaan jika dikaitkan dengan waktu kerja dan istirahat serta pengupahan. Dimana
  3. Regulasi terkait peraturan ketenagakerjaan khususnya tentang waktu kerja dan waktu istirahat serta pengupahan yang ada di Indonesia sudahlah sangat baik, oleh karenanya dibutuhkan peran dari Pengawas Ketenagakerjaan untuk memeriksa struktur dan skala upah yang ditetapkan dan diterapkan oleh perusahaan secara detail agar tidak tejadinya pelanggaran hak-hak normatif dari pekerja/buruh yang dilakukan oleh perusahaan.
  4. Fungsi Pengawas Ketenagakerjaan haruslah dimaksimalkan sehingga dapat meminimalisir pelanggaran-pelanggaran hak-hak normatif dari pekerja/buruh, jika selama ini diketahui bahwa jumlah Pengawas Ketenagakerjaan tidak dapat menjangkau pengawasan keseluruh perusahaan maka Kementrian Tenaga Kerja Republik Indonesia sudah seharusnya menambah Pengawas Ketenagakerjaan sehingga Peran dari Pengawas Ketenagakerjaan dapat maksimal untuk menegakan peraturan yang ada.

Dasar Hukum:

  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan;
  2. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor KEP.102/MEN/VI/2004 Tentang Waktu Kerja Lembur Dan Upah Lembur;
  3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Dan Transmigrasi Nomor PER-15/MEN/VII/2005 Tentang Waktu Kerja Dan Istirahat Pada Sektor Usaha Pertambangan Umum Pada Daerah Operasi Tertentu;
  4. Peraturan Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Pertambangan Mineral Dan Batubara
  5. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 21 Tahun 2010 Tentang Pengawasan Ketenagakerjaan;
  6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2015 Tentang Pengupahan;
  7. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2016 Tentang Tata Cara Pengawasan Ketenagakerjaan;
  8. Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2017 Tentang Struktur Dan Skala Upah;
  9. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja;

Rickot Siahaan, SH.

Profil Kontributor
Rickot Siahaan, SH | PT. SMART, Tbk sebagai HR PSM Operation IR Head PSM SUMSEL-LAMBABEL | Program Pengembangan Eksekutif MInaut Indonesia-Problem Solving & Decision Making yang diselenggarakan oleh PPM Managemen, Jakarta November 2018 | Pendidikan Khusus Profesi Advokat yang diselenggarakan oleh Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia (FH-UKI) dan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), tahun 2005 | Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Kristen Indonesia tahun 2019 | Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia pada tahun 2000-2004

Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui silahkan klik link dibawah ini “GRATIS” :

https://duniahr.com/ruang-konsultasi/

Jangan lupa follow sosial media kami :

https://www.instagram.com/duniahrcom/

https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/

Mitra Kolaborasi :

Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Bankloker.com

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *