Mogok Nasional dalam Perspektif Hukum Ketenagakerjaan Indonesia
Puluhan pimpinan Konfederasi dan Federasi Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB) menyepakati untuk melakukan mogok nasional sebagai bentuk penolakan terhadap omnibus law Rancangan Undang-Undangan (RUU) Cipta Kerja. Mogok nasional rencananya dilakukan selama tiga hari berturut-turut, mulai 6 Oktober dan diakhiri pada 8 Oktober 2020 bersamaan dengan sidang paripurna pembahasan RUU Cipta Kerja.
Mogok kerja secara nasional direncanakan akan menghentikan proses produksi secara total, dengan diikuti kurang lebih 5 juta buruh pada ribuan perusahaan yang tersebar di 25 provinsi dan 300 kabupaten atau kota. Selain itu, agenda tersebut akan melibatkan pekerja di sektor industri seperti kimia, energi, pertambangan, hingga logistik dan perbankan.
Secara teknis, para buruh akan keluar dari lokasi produksi kemudian berkumpul di lokasi yang ditentukan oleh masing-masing serikat pekerja di tingkat perusahaan.
Sebelumnya, aksi mogok nasional pernah dilakukan oleh serikat pekerja atau serikat buruh (SP/SB) pada tahun 2012. Aksi tersebut telah tercatat memiliki dampak kerugian yang tidak sedikit bagi pelaku industri di Indonesia.
Sektor industri makanan dan minuman mengklaim mengalami kerugian mencapai Rp 2 triliun di luar kerugian finansial yang diperkirakan mencapai US$ 20 miliar atau sekitar Rp 190 triliun.
Dampak tersebut dikhawatirkan akan mengancam iklim investasi di Indonesia yang telah kondusif. Melihat dampak kerugian yang ditimbulkan, mogok nasional menjadi agenda yang patut diperhitungkan oleh pengusaha dan Pemerintah.
Kemudian, bagaimana sebenarnya mogok nasional dalam perspektif hukum ketenagakerjaan di Indonesia?
Mogok Kerja dalam Kerangka Hukum Ketenagakerjaan
UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur bahwa mogok kerja adalah tindakan pekerja/buruh yang direncanakan dan dilaksanakan secara bersama-sama dan/atau oleh serikat pekerja/serikat buruh untuk menghentikan atau memperlambat pekerjaan.
Mogok kerja sebagai hak dasar pekerja/buruh dan SB dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. Meskipun mogok kerja diakui sebagai hak dasar, namun mogok kerja bukanlah hak yang bersifat absolut atau mutlak yang tanpa batas. Hak mogok kerja bersifat limitatif, dimana dalam merealisasikan hak tersebut haruslah dilakukan dengan mengikuti tata cara syarat prosedural yang telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Beberapa prasyarat minimal telah ditetapkan oleh peraturan perundangan dalam mengatur mengenai pelaksanaan mogok kerja.
Pertama mogok kerja yang dilakukan harus sebagai akibat dari gagalnya perundingan. Pada hal ini kita ketahui, bahwa mogok kerja bukanlah peristiwa hukum yang berdiri sendiri, namun mogok kerja terjadi sebagai akibat gagalnya perundingan dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
Gagal perundingan dapat disebabkan kerana pengusaha menolak permintaan berunding atau telah dilakukan perundingan namun mengalami jalan buntu (deadlock) atau tidak tercapai kesepakatan dalam perundingan bipartit.
Dengan demikian, apabila mekanisme berunding bipartite belum pernah dilakukan atau sudah dilakukan berunding bipartit namun belum mengalami jalan buntu (deadlock), maka dalam keadaan tersebut secara hukum tidak boleh dilakukan mogok kerja.
Mogok kerja barulah dapat dilakukan pekerja/buruh dan atau SP/SB apabila dalam keadaan sudah dilakukan perundingan bipartit dan perundingan tersebut telah mengalami jalan buntu (deadlock). Sehingga dapat dipahami bahwa secara politik hukum, mogok kerja diharapkan menjadi pilihan paling akhir (ultinum remedium) yang sangat terpaksa dilakukan ketika sudah tidak ada pilihan atau cara lainnya.
Kedua; sekurang-kurangnya dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sebelum mogok kerja dilaksanakan, pekerja/buruh dan SP/SB wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Pemberitahuan sekurang-kurangnya memuat: waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja; tempat mogok kerja; alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris SP/SB sebagai penanggung jawab mogok kerja.
Baca juga : Eksepsi dan Jenisnya dalam Hukum Acara Perselisihan Industrial
Ketiga; mogok kerja harus dilakukan secara tertib dan damai, mogok kerja tidak boleh mengganggu keamanan dan ketertiban umum, dan/atau mengancam keselamatan jiwa dan harta benda milik perusahaan atau pengusaha atau orang lain atau milik masyarakat.
Mogok kerja juga tidak boleh menghalangi pekerja/buruh lainya yang tidak ikut mogok kerja untuk masuk kerja dan melakukan pekerjaannya.
Secara terminologi, UUK 13/2003 hanyan mengenal istilah mogok kerja, dan tidak mengenal istilah Mogok Nasional. Secara praktis, mogok nasional terjadi karena adanya penolakan dari SP/SB terhadap kebijakan Pemerintah dan bukan sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana yang diatur dalam UUK 13/2003.
Apabila dilihat dari bentuknya, mogok nasional yang terjadi tidak hanya menghentikan pekerjaan ditempat kerja, tetapi juga melakukan unjuk rasa atau demonstrasi. Aksi dilakukan dengan berkumpul dari lokasi kerja konvoi ke pusat Pemerintahan untuk menyuarakan penolakan atas kebijakan Pemerintah.
Mengingat UUK 13/2003 tidak mengenal istilah Mogok Nasional, sehingga aksi yang dilakukan oleh SP/SB tersebut lebih tepat disebut sebagai aksi “unjuk rasa maupun Demonsrasi SP/SB secara Nasional”, bukan sebagai Mogok Nasional.
Photo by Unseen Histories on Unsplash
Akibat Hukum Melakukan Aksi Mogok Nasional
Istilah mogok nasional tidak dikenal dan tidak diatur dalam UUK 13/2003, sehingga apabila SP/SB melakukan aksi mogok nasional tentu akan memiliki akibat hukum, adapun akibat hukumnya antara lain:
1. Upah Selama Mogok Nasional tidak Dibayar
Ketika pekerja/buruh melakukan mogok nasional, maka para pekerja/buruh tersebut tidak melaksanakan pekerjaan seperti biasanya sebagaimana yang telah diatur dalam perjanjian kerja, PP atau PKB. Dengan tidak melakukan pekerjaan, maka berlaku azas umum pengupahan yaitu “No Work No Pay”, yang artinya ketika pekerja/buruh tidak melaksanakan pekerjaan maka tidak ada kewajiban bagi pengusaha membayarkan upah pekerja/buruh selama pekerja/buruh melakukan mogok nasional.
Namun azas “No Work No Pay” tersebut tidak berlaku apabila pekerja/buruh mandapatkan ijin dari pengusaha untuk ikut melakukan mogok nasional, sehingga ijin pengusaha kepada pekerja/buruh untuk ikut mogok nasional mewajibkan pengusaha untuk tetap membayar upah pekerja/buruh.
2. PHK
Pekerja/buruh harus berhati-hati didalam melakukan aksi mogok nasional, karena dalam prakteknya Pekerja/buruh dapat terkena PHK dengan berbagai macam alasan karena mengikuti aksi mogok nasional.
Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus perselisihan hubungan industrial yang berkaitan dengan pekerja/buruh ketika terlibat dalam aksi mogok nasional. Beberapa contoh kasus yang telah diputus oleh Hakim PHI dan/atau MA terkait pekerja/buruh dan/atau SP/SB mengikuti mogok nasional dan berujung PHK, antara lain:
- Putusan PHI Bandung No. 8/PDT.SUS-PHI/2015/PN.BDG, perkara PT. SPS
- Putusan PHI Bandung No. 103/Pdt.Sus-PHI/2016/PN Bdg dan Putusan MA No. 175 K/Pdt.Sus-PHI/2017 perkara PT. DPI
- Putusan PHI Bandung No. 58/Pdt.Sus-PHI/2017/PN Bdg dan Putusan MA No. 1464 K/Pdt.Sus-PHI/2017, perkara PT. OEI.
Mogok Kerja Bukanlah Unjuk Rasa atau Demonstrasi Pekerja/Buruh
Sekilas antara mogok kerja dengan unjuk rasa atau demonstrasi yang dilakukan pekerja/buruh dan/atau SP/SB terlihat sama, karena subjek atau pelakunya adalah pekerja/buruh. Namun, antara mogok kerja dengan unjuk rasa atau demonstrasi pekerja/buruh adalah 2 (dua) perbuatan hukum yang berbeda, karena dasar hukum pelaksanaannya berbeda dan memiliki persyaratan yang berbeda pula, antara lain:
Berdasarkan hasil uraian tersebut bahwa UUK No. 13/2003 tidak mengenal Mogok Nasional, Mogok Kerja dalam UUK No. 13/2003 merupakan sebab akibat gagalnya perundingan karena adanya perselisihan hubungan industrial. Sedangkan secara praktis, mogok nasional terjadi karena adanya penolakan dari SP/SB terhadap kebijakan pemerintah dan bukan sebagai akibat gagalnya perundingan sebagaimana diatur dalam UUK No. 13/2003.
* Tulisan ini merupakan opini pendapat pribadi Penulis
Faisal Rizza, SH., MH
[email protected]
081280879888
Profil Kontributor |
---|
Faisal Rizza, SH., MH., merupakan alumnus S-1 & S-2 dari Fakultas Hukum Universitas Trisakti, mengawali kariernya di Kementerian Ketenagakerjaan RI sebagai Mediator Hubungan Industrial kemudian menjadi Kepala Seksi Penanganan Mogok Kerja & Penutupan Perusaan. Saat ini aktif sebagai Analis Penelitian Hubungan Industrial dan juga sebagai Dosen pada Politeknik Ketenagakerjaan RI, Penulis buku & jurnal, serta menjadi Pembicara & Trainer pada berbagai seminar, workshop atau training tentang hubungan industrial. |
Redaksi DuniaHR.com
Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui silahkan klik link dibawah ini :
https://duniahr.com/ruang-konsultasi/
Jangan lupa follow sosial media kami :
https://www.instagram.com/duniahrcom/
https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/
Mitra Kolaborasi :
Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Bankloker.com