Kualifikasi ‘Ahli’ di Persidangan Pengadilan Hubungan Industrial

Loading

Apakah untuk menjadi Saksi Ahli di Persidangan Pengadilan Hubungan Industrial ‘seorang saksi ahli harus S3’. Apakah pernyataan tersebut telah sesuai dengan ketentuan yang berlaku? Yuk simak penjelasan berikut ini!

Sebelumnya kita jelaskan terlebih dahulu bahwa:  Hukum acara Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) pada dasarnya merupakan Hukum Acara Perdata yang berlaku di Pengadilan Umum, namun ada beberapa ketentuan khusus yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI). UU PPHI menjadi landasan hukum acara untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.

Dalam Hukum Acara Perdata, sebagaimana terdapat dalam Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (HIR), beberapa alat bukti yang dapat digunakan dalam persidangan antara lain:

1. Surat atau tulisan
2. Saksi
3. Persangkaan
4. Pengakuan
5. Sumpah

Adapun ‘Keterangan Ahli’ merupakan alat bukti yang juga dapat digunakan dalam perkara perdata, namun tidak diatur dalam Pasal 164 HIR. Ketentuannya dapat ditemukan pada Pasal 154 HIR yang menyatakan bahwa pengadilan dapat mengangkat seorang ahli, baik atas permintaan para pihak maupun karena jabatannya, dan ahli tersebut harus memberikan laporan yang diteguhkan dengan sumpah. Namun, orang yang tidak boleh menjadi saksi, tidak boleh pula menjadi ahli. Pendapat ahli juga tidak mengikat pengadilan jika bertentangan dengan keyakinannya.

HIR memang tidak secara eksplisit mendefinisikan ‘saksi’ maupun ‘ahli’. Namun, definisi ‘saksi’ dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 26 KUHAP, yaitu orang yang memberikan keterangan berdasarkan apa yang ia dengar, lihat, atau alami sendiri. Kualifikasi ‘ahli’ tidak dirinci dalam HIR, namun menurut California Evidence Code, seseorang dapat dianggap sebagai ahli jika memiliki keahlian, pengalaman, pengetahuan, latihan, atau pendidikan khusus yang relevan.[1]

Berdasarkan Pasal 2 ayat 2 huruf c jo. Pasal 5 Perpres Nomor 8 Tahun 2012 tentang KKNI, jabatan ‘Ahli’ secara akademik dapat diisi oleh lulusan Magister, Magister Terapan, Doktor, Doktor Terapan, pendidikan profesi, dan/atau pendidikan spesialis. Artinya, seseorang tidak harus bergelar Doktor (S3) untuk dapat memberikan keterangan ahli di pengadilan perdata.

UU No.2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI) menggunakan istilah ‘saksi ahli’. Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPHI memasukkan status sebagai pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagai salah satu kualifikasi ahli dalam perkara hubungan industrial. Namun, tidak ada rincian lain soal kriteria kualifikasi ‘ahli’.

Kesimpulan:

  1. ‘Saksi’ dan ‘Ahli’ memiliki perbedaan mendasar. Seorang saksi memberikan keterangan atas apa yang ia alami sendiri, sedangkan seorang ahli memberikan pendapat berdasarkan keahliannya.
  2. Untuk menjadi ahli di persidangan perkara perdata, tidak harus bergelar S3. Yang dibutuhkan adalah keahlian, pengalaman, atau pengetahuan yang relevan dengan pokok perkara.
  3. Penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPHI memasukkan status sebagai pegawai pengawas ketenagakerjaan sebagai salah satu kualifikasi ahli dalam perkara hubungan industrial. Namun, tidak ada rincian lain soal kriteria kualifikasi ‘ahli’

 

Audri Larissa Sunarko

Profil Kontributor
Audri Larissa Sunarko | Content Creator | Sarjana Hukum Universitas Diponegoro | Legal Content Creator di IBLAM School of Law

 

[1] Munawaroh, Nafiatul. 28 Desember 2022. Diakses dari https://www.hukumonline.com/klinik/a/syarat-dan-dasar-hukum-keterangan-ahli-dalam-perkara-pidana-lt52770db2b956d/

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *