Inskonsistensi implementasi Surat Peringatan Pasca UU Cipta Kerja

Loading

Inskonsistensi implementasi Surat Peringatan Pasca UU Cipta Kerja

Inskonsistensi dalam Pemberian Surat Peringatan, komparasi antara Pasal 154A ayat (1) huruf k Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja dengan Pasal 52 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

Dengan diundangkannya UU Cipta kerja dan peraturan pelaksananya banyak menimbulkan permasalahan yang cukup signifikan untuk diimplementasikan kedalam sistem di suatu perusahaan. Butuh waktu dan usaha lebih yang harus dipersiapkan oleh perusahaan agar proses transisinya dapat berjalan dengan baik dan lancar. Namun acap kali ditemukan permasalahan yang sifatnya substansial pada peraturan a quo sehingga mempersulit implementasi di perusahaan.

Dalam sistem perusahaan umumnya untuk meningkatkan kualitas kinerja dari karyawan diberlakukan sistem reward and punishment dengan tujuan agar karyawan dapat memberikan kontribusi untuk tumbuh dan berkembangnya perusahaan. Terkhusus untuk punishment diberlakukan agar terhadap karyawan yang melakukan pelanggaran baik terhadap perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang mengakibatkan kerugian terhadap perusahaan baik secara materiil maupun immateriil diberikan peringatan dalam bentuk tertulis. Tujuannya agar karyawan dapat memperbaiki sikap dan perilakunya dalam melaksanakan tugas dan fungsi secara benar.

Ketentuan mengenai surat peringatan dalam UU 13 Tahun 2003 diatur dalam Pasal 161 ayat (1) dan (2), yang menyebutkan bahwa:

Pasal 161 ayat (1);

Dalam hal pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja, setelah kepada pekerja/buruh yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

Pasal 161 ayat (2);

Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”

Dalam Penjelasan pasal 161 ayat (2);

Masing-masing surat peringatan dapat diterbitkan secara berurutan atau tidak, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Dalam hal surat peringatan diterbitkan secara berurutan maka surat peringatan pertama berlaku untuk jangka 6 (enam) bulan. Apabila pekerja/buruh melakukan kembali pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama masih dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan maka pengusaha dapat menerbitkan surat peringatan kedua, yang juga mempunyai jangka waktu berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan kedua. Apabila pekerja/buruh masih melakukan pelanggaran ketentuan dalam perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, pengusaha dapat menerbitkan peringatan ketiga (terakhir) yang berlaku selama 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya peringatan ketiga. Apabila dalam kurun waktu peringatan ketiga pekerja/buruh kembali melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Dalam hal jangka waktu 6 (enam) bulan sejak diterbitkannya surat peringatan pertama sudah terlampaui, maka apabila pekerja/buruh yang bersangkutan melakukan kembali pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama, maka surat peringatan yang diterbitkan oleh pengusaha adalah kembali sebagai peringatan pertama, demikian pula berlaku juga bagi peringatan kedua dan ketiga. Perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dapat memuat pelanggaran tertentu yang dapat diberi peringatan pertama dan terakhir. Apabila pekerja/buruh melakukan pelanggaran perjanjian kerja atau peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama dalam tenggang waktu masa berlakunya peringatan pertama dan terakhir dimaksud, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja. Tenggang waktu 6 (enam) bulan dimaksudkan sebagai upaya mendidik pekerja/buruh agar dapat memperbaiki kesalahannya dan di sisi lain waktu 6 (enam) bulan ini merupakan waktu yang cukup bagi pengusaha untuk melakukan penilaian terhadap kinerja pekerja/buruh yang bersangkutan.

Dari Pasal 161 a quo  dapat disimpulkan bahwa pemberian surat peringatan kepada karyawan yang melakukan pelanggaran tidak harus diberikan secara berurutan.

Image by Sammy-Sander from Pixabay

Dalam perkembangannya dalam UU 11 Tahun 2020 tentang cipta kerja ketentuan dalam Pasal 161 tersebut dihapuskan, namun dalam UU a quo diatur khusus pada Pasal 154A ayat (1) huruf k, yang menyebutkan:

Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kalimat “kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama” dapat dimaknai sepanjang ketentuan pemberian sanksi surat peringatan secara tidak berurutan dapat diterapkan sepanjang diatur khusus dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Hal ini berbeda dari ketentuan Pasal 52 ayat (1) PP 35 Tahun 2021, yang menyebutkan:

Pengusaha dapat melakukan Pemutusan Hubungan Kerja terhadap Pekerja/Buruh karena alasan Pekerja/Buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.

Dari ketentuan Pasal di atas menghendaki pemberian surat peringatan kepada karyawan harus dilakukan secara berurutan.

Inkonsistensi pengaturan mengenai pemberian surat peringatan, menjadi problematika tersendiri dalam pengaplikasiannya di perusahaan. Oleh karenanya Opini ini dibuat dari bentuk kegelisahan penulis dalam mempelajari UU Cipta Kerja  dan Peraturan Pelaksananya terkhusus pada klaster ketenagakerjaan, yang mana menurut hemat penulis masih banyak pasal-pasal yang tidak konsisten yang mengakibatkan multitafsir. Semoga ulasan singkat ini dapat mamantik akademisi dan juga praktisi di bidang Human Resources untuk memperbanyak diskusi baik melalui tulisan maupun forum-forum diskusi lainnya.

Ada 2 (dua) pertanyaan mendasar atas problematika sebagaimana yang dimaksudkan diatas, yaitu:

  1. Apakah surat peringatan wajib diberikan secara berurutan?;
  2. Apa konsekuensi hukum ketika surat peringatan tidak diberikan secara berurutan?;

Apakah surat peringatan wajib diberikan secara berurutan;

Dalam ilmu hukum terkhusus pada ilmu perundang-undangan terdapat beberapa pendekatan yang dapat dijadikan argumen dalam menafsirkan pasal-pasal yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. Pertama, Asas lex superior derogat legi imperior yang artinya hukum yang lebih tinggi mengesampingkan hukum yang dibawahnya, sebagai contoh apabila terdapat pertentangan antara peraturan pemerintah dengan undang-undang maka yang digunakan adalah ketentuan yang diatur dalam undang-undang, karena secara hirarki undang-undang kedudukannya lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan pemerintah. Kedua, Asas lex specialis derogat legi generali yang artinya hukum yang lebih khusus mengesampingkan hukum yang umum, sebagai misal terdapat dua undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana penyalahgunaan narkotika, diatur dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) dan juga diatur dalam UU Narkotika, oleh karena itu UU Narkotika lah yang akan digunakan dalam menentukan berat ringannya hukum kepada pelaku tindak pidana narkotika. Ketiga, Asas lex posterior derogat legi priori artinya hukum yang baru mengesampingkan hukum yang lama, sebagai misal pengaturan mengenai ketenagakerjaan diatur dalam UU 13 Tahun 2003 dan UU 11 Tahun 2020, maka ketika terjadi permasalahan ketenagakerjaan maka mengacu pada UU 11 Tahun 2020 kecuali tidak diubah atau dihapus ketentuannya dalam UU 13 Tahun 2003.

Menjawab pertanyaan apakah surat peringatan wajib diberikan secara berurutan? Pendekatan yang dapat digunakan adalah menggunakan asas lex superior derogat legi imperior diterjemahkan secara sederhana adalah ketentuan mengenai sanksi surat peringatan mengikuti ketentuan di dalam UU 11 Tahun 2020 yakni pada Pasal 154A ayat (1), yang mengatur:

Pekerja/buruh melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 (enam) bulan kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Jadi sepanjang diatur khusus dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian bersama maka ketentuan pemberlakuan surat peringatan secara berturut-turut atau berurutan dapat dikesampingkan atau dikecualikan, maka menjadi suatu hal yang tidak diwajibkan.

Apa konsekuensi hukum ketika surat peringatan tidak diberikan secara berurutan?

Dalam hal suatu perusahaan tidak mengatur khusus bagaimana teknis dan tata cara pemberian sanksi surat peringatan kepada karyawan maka secara mutatis mutandis ketentuan pemberian sanksi surat peringatan wajib untuk dilakukan. Ketika terjadi pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan yang dimana surat peringatan tidak diberikan secara berturut-turut maka pemutusan hubungan kerja tersebut menjadi tidak sah demi hukum atau klasifikasi pemutusan hubungan kerjanya berubah menjadi pemutusan hubungan kerja karena efisiensi. Perubahan PHK karena  Indisipliner (tidak diberikan SP secara berurutan) menjadi PHK dengan alasan Efisiensi, dampak pada perusahaan adalah perusahaan harus membayarkan kompensasi yang lebih besar kepada pekerja/buruh.

Sebagai contoh:

X adalah karyawan PT A, dalam melakukan pekerjaan X melanggar ketentuan yang diatur dalam Peraturan Perusahaan PT A, namun dalam Peraturan Perusahaan PT A tidak mengklasifikasikan jenis perbuatan apa saja dan pelanggaran apa saja yang diklasifikasikan pemberian sanksi SP1, SP2 dan SP3.

Atas pelanggaran yang dilakukan oleh X PT A memberikan sanksi SP3 dan melakukan PHK terhadap karyawan X, maka secara hukum PHK tersebut menjadi tidak sah karena karyawan X belum pernah mendapatkan sanksi SP1 dan SP2 sebelumnya.

Dari uraian dan contoh yang dimaksudkan diatas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

  1. Ketentuan mengenai pemberian sanksi berupa surat peringatan “secara berurutan atau tidak berurutan” sebaiknya diatur khusus dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
  2. Apabila tidak diatur khusus dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja, atau perjanjian kerja bersama maka pemberian sanksi Surat Peringatan sebaiknya dilakukan secara berurutan atau berturut-turut.

Elvidius Evatrianta, S.H.

Profil Kontributor
Elvidius Evatrianta, S.H. | Merupakan lulusan Sarjana Hukum Universitas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta angkatan 2014, pada saat kuliah pernah menjadi Asisten Dosen Pedidikan dan Pelatihan Kemahiran Hukum (PLKH), mengikuti perlombaan Nasional Moot Court Copetition (NMCC). Saat ini berkarir diperusahaan PT Sinar Mas Agri Bussines and Tecnology (SMART Tbk) dengan jabatan Human Resources and Industrial Relations (HRIR). Selain itu juga telah mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan telah lulus Ujian Profesi Advokat. Aktif dalam menulis karya ilmiah berupa artikel, jurnal baik yang diterbitkan melalui media cetak maupun daring.

Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui kini lebih mudah melalui forum WAG Dunia HR Discussion:

https://weare.duniahr.com

Dukung dan support kegiatan Dunia HR dengan cara follow/subscribe:

Instagram: https://www.instagram.com/duniahrcom/

Youtube: https://www.youtube.com/channel/UCnIChHnIPZEz5BqB0jTxoxQ

Linkedin: https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/

Mitra Kolaborasi :

Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Rekruter Indonesia Bersatu

Komunitas Belajar HR sesuai SKKNI PeopleUp

Konsultan SDM & Layanan Transformasi Organisasi HeaRt Squad Indonesia

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

satu Respon

  1. Pasal 161 ayat (2) UU 13/2003:
    “Surat peringatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) masing-masing BERLAKU untuk PALING LAMA 6 (enam) bulan, KECUALI ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.”.

    Saya memaknainya frasa “KECUALI ditetapkan lain….” adalah pengecualian MASA BERLAKU masing-masing Surat Peringatan, yakni masa berlaku SP-1 ditetapkan dalam PK dan/atau PP/PKB adalah (misal) 5 (lima) bulan, masa berlaku SP-2 ditetapkan 3 (tiga) bulan dan masa berlaku SP-3 ditetapkan 1 (satu) bulan. Intinya, masing-masing Surat Peringatan TIDAK LEBIH DARI 6 (enam) bulan). Dengan kata lain, PENGECUALIAN dalam pasal 161 ayat (2) UU 13/2003 BUKAN sebagai PENGECUALIAN URUTAN pemberian Surat Peringatan.

    PENJELASAN Pasal 161 ayat (2) UU 13/2003, jikalau disandingkan dengan ketentuan dalam Lampiran II.E. Angka 176, UU 12/2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU PPP), berbunyi: “PENJELASAN berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk Peraturan Perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, PENJELASAN HANYA MEMUAT uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. PENJELASAN sebagai sarana untuk MEMPERJELAS norma dalam batang tubuh TIDAK BOLEH mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud”.

    Lampiran II.E. Angka 177, UU 12/2011, berbunyi: “PENJELASAN TIDAK DAPAT DIGUNAKAN sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan TIDAK BOLEH mencantumkan rumusan yang BERISI NORMA”

    Lampiran II.E. Angka 178, UU 12/2011, berbunyi: “PENJELASAN TIDAK menggunakan rumusan yang isinya MEMUAT PERUBAHAN TERSELUBUNG terhadap ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

    Lampiran II.E. Angka 186 huruf a dan huruf b UU 12/2011, berbunyi:
    Rumusan PENJELASAN pasal demi pasal memperhatikan hal sebagai berikut:
    a. tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang tubuh.
    b. tidak memperluas, mempersempit atau menambah pengertian norma yang ada dalam batang tubuh.

    Oleh karenanya, saya memaknaai bahwa PENJELASAN dalam pasal 161 ayat (2) UU 13/2003 TELAH BERTENTANGAN dengan isi dalam BATANG TUBUHNYA yang mengatur PENGECUALIAN MASA BERLAKU masing-masing Surat Periingatan yang DIBATASI PALING LAMA 6 (enam) bulan, dan BUKAN mengecualikan URUTAN pemberian Surat Peringatan.

    Sementara ketentuan dalam pasal 81 angka 42 pasal 154A ayat (1) huruf k UU 11/2022, menurut pendapat saya bahwa frasa “KECUALI ditetapkan lain….” MASIH SAMA maknanya sebagaimana dimaksud dalam pasal 161 ayat (2) UU 13/2003, yakni PENGECUALIAN untuk MASA BERLAKU masing-masing Surat Peringatan, dan BUKAN sebagai PENGECUALIAN URUTAN pemberian Surat Peringatan.

    Demikian dari perspektif/penafsiran dari sudut pandang lain.

    Salam SEHAT,
    Barkah

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *