Standar Gaji Fresh Graduate: Realita vs Harapan

Loading

Saat kuliah, saya aktif mencari pengalaman kerja di bidang hukum. Tapi entah kenapa, langkah saya banyak terhenti di tahap wawancara.

Mungkin karena saya terlalu banyak bertanya?

Mungkin ada kandidat yang lebih cocok? Atau mungkin mereka lebih berpengalaman?

Saya tidak yakin.

Tapi yang jelas, saat itu saya tidak pernah menetapkan standar gaji tinggi karena tujuannya untuk magang.

Setelah lulus, saya kembali melamar pekerjaan. Kali ini, saya punya harapan baru. Beberapa teman sejurusan mendapat gaji di atas UMP Jakarta meskipun mereka juga fresh graduate (katakanlah jumlahnya Rp6.500.000).

Dari situ saya berpikir: “Kalau mereka bisa mendapatkan gaji di atas UMP, kenapa saya tidak?”

Saya pun menetapkan gaji minimum ideal versi diri saya sendiri.

Namun, idealisme itu sempat berbenturan dengan realita.

Beberapa badan usaha menawarkan gaji di bawah harapan saya, meskipun ada juga yang sudah menawarkan di atas UMP. Sayangnya, karena tidak sesuai dengan standar yang dulu saya anggap ideal, kami tidak jadi bekerja sama.

Pengalaman ini memberi saya pelajaran penting: standar gaji bukan hanya soal angka di internet atau media sosial. Tapi juga soal situasi, realita, dan prioritas hidup.

Akhirnya, saya memutuskan untuk menyesuaikan standar gaji saya menjadi lebih rendah dari standar yang sebelumnya. Berkat itu, Puji Tuhan saya mendapatkan pekerjaan.

Saya sadar, memang ada fresh graduate yang langsung digaji tinggi. Tapi jumlahnya tidak sebanyak mereka yang memulai dari UMP atau bahkan di bawahnya. Itulah kenyataan di lapangan. Tidak mudah bagi pemberi kerja, tidak mudah juga bagi pencari kerja.

Namun saya bersyukur. Gaji yang saya terima cukup untuk hidup sehari-hari, walau saya harus kembali ke “mode kuliah”—hemat, efisien, dan fokus.

Saya percaya, meski memulai dari bawah, saya akan sampai di titik di mana keahlian saya dihargai dengan layak.

Buat teman-teman fresh graduate dan job seeker, semoga cerita ini bisa memberi sedikit gambaran tentang realita di luar sana. Bukan untuk mengecilkan hati, tapi sebagai bahan pertimbangan dan penguatan.

Apakah rekan-rekan juga punya pengalaman serupa?

 

Audri Larissa Sunarko

Profil Kontributor
Audri Larissa Sunarko | Content Creator | Sarjana Hukum Universitas Diponegoro | Legal Content Creator di IBLAM School of Law

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *