Urgensi Pelaksanaan Tripartit Berbasis Keadilan

Loading

Hampir sembilan belas tahun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004) berlaku di Indonesia. Adapun undang-undang tersebut terdiri dari delapan Bab dengan seratus dua puluh enam Pasal.

Berbicara penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka dalam tatanan norma terdiri dari tiga tahap, yaitu bipartit, tripartit dan pengadilan hubungan industrial. Adapun perselisihan hubungan industrial yang dimaksud adalah perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Adapun keseluruhan perselisihan hubungan industrial tersebut wajib dilakukan Bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Adapun Bipartit wajib diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh hari). Apabila tercapai mufakat maka dilanjutkan dengan Perjanjian Bersama, apabila tidak sepakat maka dapat dilanjutkan ke tahap selanjutnya. Tahap selanjutnya adalah tripartit.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (kbbi.web.id) artinya tiga pihak.  Esensi dari triparit artinya penyelesaian yang dilakukan oleh ketiga pihak. Dikaitkan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial maka yang dimaksud adalah mediasi hubungan industrial, konsiliasi hubungan industrial dan arbitrase hubungan industrial.

Adapun perbedaan mediasi, konsiliasi dan arbitrase yaitu lingkup penyelesaian perselisihannya. Mediasi menyelesaikanerselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral. Tidak berbeda jauh dengan mediasi hubungan industrial, konsiliasi hubungan industrial juga menyelesaikan perselisihan yang dapat diselesaikan di mediasi hanya saja dipimpin oleh seorang konsiliator. Sedangkan arbitrase hubungan industrial adalah penyelesaian suatu perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

Menurut hemat penulis, tahap tripartit merupakan tahap yang harus dipenuhi oleh pihak yang berselisih sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan hubungan industrial. Namun demikian, para prakteknya seringkali tripartit tercatat dan dilaksanakan meskipun tanpa Bipartit terlebih dahulu. Secara tegas Pasal 4 UU 2/2004 menyebutkan dalam hal perundingan bipartit, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.  Apabila bukti-bukti tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

Berdasarkan pengalaman penulis dalam mengikuti proses tripartit, seringkali dari instansi di bidang ketenagakerjaan menerima laporan pencatatan perselisihan meskipun belum dilakukan  upaya bipartit. Tentu upaya bipartit bukan sekedar hanya surat yang mengundang bipartit namun harus dipahami telah bertemunya pihak pekerja/serikat pekerja dan pengusaha terkait perselisihan hak, kepentingan dan/atau pemutusan hubungan kerja atau antar serikat pekerja yang berselisih yang dinyatakan dalam risalah atau notulensi bipartit yang telah menyepakati hal-hal pada perundingan bipartit apakah terjadi kesepakatan penyelesaian atau tidak disepakati penyelesaian dalam bipartit untuk dilanjutkan ke tahap tripartit.

Terjadinya tripartit tanpa pemeriksaan laporan pencatatan perselisihan hubungan industrial yang ketat mengakibatkan tripartit dapat terlaksana tanpa bipartit terlebih dahulu. Hal tersebut bertentangan dengan keadilan yang seharusnya dikedepankan. Lebih parahnya, adapula Bipartit dilaksanakan setelah agenda pertama tripartit dilaksanakan yaitu setelah klarifikasi. Memang dalam UU 2/2004 tidak diatur tegas apabila Tripartit dilaksanakan tanpa Bipartit terlebih dahulu apakah konsekuensi hukumnya.

Dalam tantanan konseptual, maka suatu penyelesaian perselisihan yang tidak didahului penyelesaian awalnya maka layak tidak dilanjutkan atau minimal instansi di bidang ketengakerjaan tersebut mengeluarkan laporan hasil klarifikasi yang menyimpulkan pencatatan perselsiihan tidak dapat dilanjutkan karena tidak ditemukan lampiran  upaya bipartit berupa risalah bipartit.

Tantangan

Dalam prakteknya, apabila tripartit tetap berlanjut meskipun belum ada upaya bipartit terlebih dahulu. Dalam tatanan hukum, maka tahapan bipartit merupakan syarat formil sehingga apabila tidak dipenuhi maka tripartit tersebut cacat hukum. Tantangan kedepannya maka diperlukan kesepakatan bersama antara para pelaku hubungan industrial atau pembahasan dalam Lembaga Kerjasama Triparit.

Bayangkan apabila proses tripartit dilaksanakan tanpa memenuhi syarat formil maka keadilan telah disampingkan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakejaan. Ini merupakan tantangan kedepannya oleh Kementerian Tenaga Kerja saat ini agar dibenahi profesionalitas dari sumber daya manusia. Sumber daya manusia yang terdapat di instansi bidang ketenagakerjaan tersebut merupakan Aparatur Sipil Negara sehingga wajib melaksanakan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang baik (AUPB) salah satunya asas ketidakberpihakan.

Dalam AUPB sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 Tentang Administrasi Negara pada Pasal 10 ayat 1 huruf c mengenai ketidakberpihakan dalam penjelasan ketentuan tersebut dijelaskan asas ketidakberpihakan adalah asas yang mewajibkan Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam menetapkan dan/atau melakukan Keputusan dan/atau Tindakan dengan mempertimbangkan kepentingan para pihak secara keseluruhan dan tidak diskriminatif.

Selain itu pasca ditetapkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2019 tentang Penyelesaian Sengketa Tindakan Pemerintahan Dan Kewenangan Mengadili Perbuatan Melawan Hukum Oleh Badan Dan/Atau Pejabat Pemerintahan (Onrechtmatige Overheidsdaad) maka Instansi di Bidang Ketenagakerjaan yang melanjutkan tripartit tanpa dilakukan bipartite terlebih dahulu berpotensi dapat digugat Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa yang merasa kepentingannya dirugikan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.  Hal ini sangat mungkin terjadi karena dalam sengketa Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa yang menjadi pihak Penggugat adalah Warga Masyarakat. Warga Masyarakat dalam Perma tersebut adalah seseorang atau badan hukum perdata yang terkait dengan Tindakan Pemerintahan. Sedangkan yang menjadi Tergugat adalah Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya yang melakukan Tindakan Pemerintahan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya yang digugat oleh Warga Masyarakat. Selanjutnya mengenai Tindakan Pemerintahan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan/tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggara pemerintahan. Adapun cara Penggugat menurut Perma tersebut adalah menggugat dengan alasan Tindakan Pemerintahan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.

Oleh karenanya apabila tripartit dilaksanakan tanpa memenuhi bipartit konsekuensi hukumnya adalah terhadap instansi di bidang ketenagakerjaan yang melaksanakan tripartit berpotensi digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara atas dasar gugatan pembatalan Anjuran karena cacat hukum maupun pejabat dari instansi yang menerbitkan Anjuran tersebut digugat dengan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum Oleh Penguasa yang keduanya diuji dengan peraturan perundang-undangan dan AUPB yang diarasa oleh Penggugat (bisa Pekerja/Serikat Pekerja/Pengusaha/Perusahaan) yang merasa dirugikan kepentingan hukumnya.

Oleh karenanya, agar tidak terjadi pembangkangan hukum (law disobedience), maka mendesak atau urgent dalam tatanan penyelesaian secara tripartit wajib berbasis keadilan. Keadilan tersebut ditegakan dengan cara pelaksanaan tripartit tidak dapat  dilaksanakan oleh para pihak yang berselisih apabila tidak dilakukan upaya bipartit yang dibuktikan dengan risalah bipartit yang isinya para pihak tidak sepakat dalam perundingan bipartit dan ditandatangani oleh kedua belah pihak yang berselisih. Bagaimanapun Keadilan adalah kunci dari segala penyelesaian perselsihan.

 

Johan Imanuel

Advokat di Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia (TAPHI)

Profil Kontributor
Johan Imanuel, S.H. | Counsel di Adams & Co, Counsellors at Law | Inisiator | Tim Advokasi IR Permenkumham Paralegal | Tim Advokasi Amicus | Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia | Komunitas Advokat Pengawal RUU Hukum Pidana

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *