Dunia sepak bola profesional baru-baru ini dihebohkan oleh kasus yang menimpa bek timnas Indonesia, Mees Hilgers. Ia “dibekukan” atau tidak dimainkan oleh klubnya, FC Twente, karena menolak menandatangani perpanjangan kontrak, meskipun kontraknya saat ini masih berlaku hingga 2026. Asosiasi Pemain Kontrak Belanda (VVCS) mengecam tindakan ini sebagai “penyalahgunaan kekuasaan” dan “perundungan”.
Kasus ini memicu pertanyaan penting yang sangat relevan bagi dunia HR di Indonesia: bisakah sebuah perusahaan melakukan hal serupa? Bolehkah “membekukan” seorang karyawan—tidak memberinya pekerjaan namun tidak mem-PHK-nya—sebagai hukuman karena menolak perpanjangan kontrak?
Sebelum menjawab kita mulai dahulu dengan membuka diskusi menarik: Bagaimana jika situasi serupa terjadi pada atlet profesional di Indonesia? Untuk menjawabnya, kita perlu melihat irisan antara hukum bisnis sepak bola global (Aturan Bosman), hukum ketenagakerjaan, dan regulasi spesifik dalam UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan.
Secara singkat, situasi yang dialami Mees Hilgers adalah:
- Kontraknya masih berlaku hingga tahun 2026.
- Klub menekannya untuk memperpanjang kontrak lebih awal agar ia tidak pergi secara gratis saat kontraknya habis.
- Karena menolak, ia tidak dimainkan dalam enam laga pertama, yang secara efektif menghambat karier dan perkembangannya.
Bagi yang pernah memainkan seri gim Football Manager, dahulu lebih dikenal dengan Championship Manager yang kini dikembangkan oleh Sports Interactive dan dipublikasikan oleh SEGA sudah sangat familiar momen memburu pemain potensial yang 6 bulan lagi kontrak dengan klubnya berakhir, karena tidak perlu mengeluarkan biaya transfer sehingga menghemat budget transfer klub yang sedang kita mainkan.
Tindakan pemain Football Manager mencari pemain “gratisan”, termasuk juga tindakan FC Twente menekan Hilgers untuk memperpanjang kontrak satu tahun sebelum habis bukanlah hal aneh. Ini adalah dampak langsung dari Aturan Bosman (1995), yang memungkinkan pemain pindah klub secara gratis saat kontraknya berakhir.
Untuk memahami mengapa FC Twente begitu ingin mengikat Hilgers, kita harus kembali ke tahun 1995. Sebelum itu, klub bisa menuntut biaya transfer untuk seorang pemain bahkan jika kontraknya sudah berakhir. Aturan Bosman, yang lahir dari kasus pemain Belgia Jean-Marc Bosman, mengubah segalanya.
Putusan pengadilan pada saat itu menetapkan bahwa pemain yang kontraknya telah habis berhak pindah ke klub lain tanpa biaya transfer sama sekali. Inilah yang melahirkan konsep “bebas transfer” atau free transfer.
Dampaknya adalah aturan ini memberikan kekuatan tawar yang luar biasa kepada pemain. Di sisi lain, klub berisiko kehilangan aset berharga (pemain bintang) secara gratis. Oleh karena itu, menjadi praktik umum bagi klub untuk menjual atau menekan pemain agar memperpanjang kontrak satu tahun sebelum masa baktinya berakhir, persis seperti yang terjadi pada Mees Hilgers. Tindakan Twente, meskipun salah secara etika kerja, adalah sebuah strategi bisnis yang lahir dari kepanikan finansial akibat Aturan Bosman.
Bagaimana jika kasus Mees Hilgers terjadi pada atlet profesional di bawah yurisdiksi Indonesia?
Dari kacamata UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja, tindakan “membekukan” karyawan seperti yang dialami Hilgers jelas bermasalah:
- Pelanggaran Kewajiban Pengusaha: Selama kontrak kerja (Perjanjian Kerja) masih berlaku, pengusaha wajib memberikan pekerjaan yang diperjanjikan dan membayar upah. Dengan sengaja tidak mempekerjakan atlet yang siap bermain adalah wanprestasi.
- Menjadikan status bermain sebagai alat tawar untuk memaksa perpanjangan kontrak bertentangan dengan prinsip Hubungan Industrial Pancasila yang mengedepankan itikad baik.
UU No. 11 Tahun 2022 tentang Keolahragaan yang baru memberikan kerangka hukum spesifik bagi atlet profesional di Indonesia:
- UU ini mendefinisikan Olahragawan Profesional sebagai “Olahraga yang dilakukan untuk memperoleh pendapatan… didasarkan atas kemahiran berolahraga” (Pasal 1 Angka 14). Untuk menjadi profesional, seseorang harus memenuhi syarat ketenagakerjaan dan medis (Pasal 59 Ayat 2).
- Hak Atlet Profesional: Secara eksplisit, UU ini menjamin hak atlet profesional untuk “mendapatkan pendapatan yang layak sesuai dengan standar yang ditentukan oleh cabang Olahraga Profesional” (Pasal 59 Ayat 3 huruf d). Tindakan “membekukan” yang menghalangi atlet memperoleh pendapatan dari kemahirannya jelas bertentangan dengan hak ini.
- Kewajiban Atlet: Di sisi lain, atlet juga memiliki kewajiban untuk menjunjung sportivitas dan menaati peraturan (Pasal 61). Namun, kewajiban ini tidak bisa dijadikan alasan untuk melanggar hak dasarnya untuk bekerja sesuai kontrak.
- Mekanisme Penyelesaian Sengketa: UU Keolahragaan mendorong penyelesaian sengketa melalui musyawarah oleh Induk Organisasi Cabang Olahraga terlebih dahulu. Jika gagal, dapat dilanjutkan melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase keolahragaan (Pasal 102). Ini memberikan jalur penyelesaian spesifik di luar PHI umum, meskipun prinsip dasarnya tetap sama.
Sehingga jika terjadi kasus pembekuan atlet professional di Indonesia, tindakan klub akan melanggar baik prinsip umum UU Ketenagakerjaan (kewajiban memberi pekerjaan) maupun hak spesifik atlet profesional dalam UU Keolahragaan (hak mendapat pendapatan layak) maka disarankan:
- Mengadukan ke Induk Organisasi Cabang Olahraga (misal: PSSI untuk sepak bola) atau asosiasi pemain untuk mediasi internal sesuai Pasal 102 UU Keolahragaan.
- Jika gagal, menempuh jalur arbitrase keolahragaan atau mekanisme lain yang disepakati.
- Secara paralel atau alternatif, ia juga bisa menempuh jalur penyelesaian perselisihan hubungan industrial umum (Bipartit, Mediasi Disnaker, hingga gugatan ke PHI) berdasarkan UU Ketenagakerjaan karena ini menyangkut hak dasar dalam perjanjian kerja.
Bolehkah “membekukan” seorang karyawan namun tidak mem-PHK-nya—sebagai hukuman karena menolak perpanjangan kontrak?
Walau contoh kasus yang menimpa Mees Hilgers terjadi di ranah olahraga profesional, inti masalahnya sangat relevan dengan situasi yang bisa dihadapi karyawan kontrak (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu/PKWT) di Indonesia: Bolehkah perusahaan berhenti memberikan pekerjaan kepada karyawan PKWT yang masih aktif, hanya karena ia menolak tawaran perpanjangan kontrak sebelum waktunya?
Mirip dengan klub sepak bola yang takut kehilangan pemain bintangnya secara gratis (akibat Aturan Bosman di Eropa), perusahaan di Indonesia mungkin memiliki alasan berikut ini untuk menekan karyawan PKWT agar memperpanjang kontrak jauh sebelum masa berlakunya habis:
- Keinginan untuk mempertahankan karyawan berkinerja baik atau memiliki keahlian spesifik.
- Proses mencari dan melatih karyawan pengganti membutuhkan biaya tidak sedikit dan waktu yang lama.
- Menjaga kelangsungan proyek atau fungsi yang dipegang oleh karyawan tersebut.
- Kepanikan atau Praktik Manajemen Buruk: Terkadang, ini hanyalah strategi yang lahir dari kepanikan kehilangan karyawan atau praktik manajemen yang kurang baik dalam mengelola ekspektasi dan negosiasi.
Namun, apakah alasan – alasan diatas dapat membenarkan tindakan “membekukan” karyawan?
Hukum ketenagakerjaan Indonesia, terutama UU No. 13 Tahun 2003 jo. UU Cipta Kerja dan peraturan pelaksananya PP No. 35 Tahun 2021 (yang mengatur PKWT), memberikan jawaban yang jelas dimana selama jangka waktu yang disepakati dalam PKWT masih berjalan, hubungan kerja tetap berlangsung. Pengusaha wajib memenuhi kewajibannya, yaitu:
- Memberikan pekerjaan yang diperjanjikan.
- Membayar upah sesuai kesepakatan, tepat waktu. Kegagalan memenuhi kewajiban ini, terutama dengan sengaja tidak memberikan pekerjaan kepada karyawan yang bersedia bekerja, merupakan pelanggaran kontrak (wanprestasi) dari sisi pengusaha.
- Menolak Perpanjangan Dini Bukan Pelanggaran oleh Karyawan: Seorang karyawan PKWT berhak penuh untuk menyelesaikan kontraknya hingga tanggal berakhir yang disepakati. Menolak tawaran perpanjangan sebelum kontrak berakhir bukanlah sebuah pelanggaran atau bentuk pembangkangan. Karyawan hanya menunda keputusan atau menggunakan haknya untuk tidak menyetujui perjanjian baru sebelum waktunya. Ini tidak bisa dijadikan dasar untuk memberikan sanksi atau “hukuman” berupa pembekuan.
Pembekuan” Tidak Dikenal dalam Hukum Ketenagakerjaan: Istilah “membekukan” (tidak dipekerjakan tapi tidak di-PHK) tidak dikenal sebagai status hubungan kerja yang sah. Jika perusahaan tidak lagi membutuhkan tenaga karyawan tersebut sebelum PKWT berakhir, mekanisme yang sah adalah PHK dengan alasan yang sesuai (misalnya efisiensi), dan perusahaan wajib membayar ganti rugi sebesar sisa upah hingga kontrak berakhir, ditambah uang kompensasi PKWT.
Karyawan PKWT yang “dibekukan” memiliki dasar hukum yang kuat untuk menuntut haknya melalui jalur:
-
- Bipartit: Mengajak perusahaan berunding untuk meminta dipekerjakan kembali atau meminta kompensasi sesuai aturan.
- Mediasi (Tripartit): Jika Bipartit gagal, mencatatkan perselisihan ke Disnaker.
- Gugatan ke PHI: Mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial atas dasar wanprestasi pengusaha.
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kasus ini?
Berdasarkan hukum ketenagakerjaan Indonesia, tindakan “membekukan” karyawan PKWT—tidak memberinya pekerjaan namun tidak mem-PHK-nya—karena menolak perpanjangan kontrak sebelum waktunya adalah praktik yang tidak dapat dibenarkan dan melanggar hukum. Perjanjian kerja yang masih berlaku harus dihormati oleh kedua belah pihak. Perusahaan yang ingin mempertahankan talenta PKWT harus menggunakan strategi negosiasi yang adil dan transparan, bukan koersi atau penyalahgunaan posisi.
Meskipun berawal dari analogi dalam dunia olahraga, namun dapat memberikan pelajaran krusial bagi HR dalam mengelola karyawan PKWT:
- PKWT adalah komitmen hukum. Jangan mengakhirinya secara sepihak atau “membekukan” karyawan hanya karena negosiasi perpanjangan belum berhasil.
- Jika Anda ingin mempertahankan karyawan PKWT, mulailah negosiasi perpanjangan dengan itikad baik dan insentif yang menarik jauh sebelum kontrak berakhir, bukan dengan tekanan.
- Jika memang ada perubahan kebutuhan bisnis yang membuat posisi karyawan tidak lagi diperlukan, komunikasikan secara terbuka dan tempuh jalur PHK yang sesuai aturan, lengkap dengan hak-haknya.
- Praktik “membekukan” karyawan dapat merusak employer brand perusahaan dan menyulitkan rekrutmen di masa depan. Karyawan yang merasa diperlakukan tidak adil cenderung akan berbagi pengalamannya.
[MN]