Kali ini Redaksi DuniaHR.com akan menjawab pertanyaan dari Pembaca terkait dengan Apakah Pembayaran Uang Pesangon Boleh dicicil?
Dear DuniaHR.com, saya bulan lalu mengalami PHK Efisiensi karena Perusahaan Mengalami Kerugian, saya ingin bertanya apakah dibenarkan secara aturan ketenagakerjaan apabila Perusahaan membayar pesangon saya dengan cara dicicil selama 6 (enam) bulan?
Pesangon merupakan kompensasi wajib yang diberikan Perusahaan kepada karyawan yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) sesuai aturan perundang-undangan ketenagakerjaan yang berlaku.
Pesangon diberikan sebagai bentuk apresiasi atas masa kerja karyawan, sekaligus memberikan dukungan finansial sementara untuk membantu karyawan mencari pekerjaan baru.
Ketentuan pemberian pesangon diatur dalam UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 yang telah diperbarui melalui UU Cipta Kerja No. 6 Tahun 2023 dan Peraturan Pemerintah (PP) No. 35 Tahun 2021.
Berdasarkan PP 35 Tahun 2021, pesangon diberikan dalam bentuk uang pesangon, penghargaan masa kerja, dan penggantian hak. Besarnya tergantung pada masa kerja karyawan dan alasan PHK yang terjadi.
Besaran pesangon tergantung pada masa kerja dan alasan PHK, dan bisa mencakup tiga jenis kompensasi: uang pesangon, uang penghargaan masa kerja (UPMK), dan uang pengganti hak.
Dalam ranah praktik ketenagakerjaan memang kerap ditemui Perusahaan melakukan pembayaran pesangon dengan cara dicicil. Karena memang dalam peraturan perundang-undangan yang ada tidak diatur secara spesifik dan rinci mengenai bagaimana cara pembayaran pesangon atau kapan persisnya pesangon harus dibayarkan.
Apabila Pekerja diputus hubungan kerjanya (PHK) mengenai pembayaran pesangon yang merupakan kewajiban pengusaha dapat dirundingkan di antara pengusaha dan pekerja.
Pengusaha dan Pekerja dapat membuat kesepakatan mengenai bagaimana dan kapan pesangon harus dibayarkan. Dalam hal ini, termasuk disepakati apakah pembayarannya akan dicicil atau langsung dibayar tunai.
Pesangon dicicil menurut beberapa pakar hukum ketenagakerjaan mungkin dilakukan apabila memenuhi syarat berikut:
1. Persetujuan tertulis dari Pekerja/Serikat Pekerja dengan Perusahaan
Perusahaan tidak boleh secara sepihak memaksakan pembayaran pesangon dengan cara dicicil. Sebab, tindakan ini dapat menimbulkan perselisihan hubungan industrial. apabila karyawan menolak skema pembayaran bertahap, maka pesangon harus dibayarkan sekaligus.
Pembayaran uang pesangon dengan cara dicicil harus mendapat persetujuan karyawan atau serikat pekerja di perusahaan. Persetujuan ini dituangkan dalam kesepakatan tertulis (Perjanjian Bersama) yang ditandatangani kedua pihak.
2. Mekanisme pembayarannya pesangon harus jelas
Kesepakatan tertulis antara Pengusaha dan Pekerja/Serikat Pekerja harus mencantumkan secara jelas mengenai mekanisme pembayarannya, termasuk tahapan pembayaran, tanggal dan bulan pembayaran, jumlah cicilan, dan metode pembayaran Pesangon.
3. Nilai pesangon harus sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundangan-undangan
Pesangon dicicil tidak boleh kurang dari ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia. Namun, perusahaan boleh memberikan nilai pesangon melebihi ketentuan hukum Ketenagakerjaan.
Apabila pihak pekerja tidak menyetujui pembayaran uang pesangon dengan cara dicicil, maka menjadi perselisihan pemutusan hubungan kerja antara Pengusaha dan Pekerja.
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial diselesaikan sebagaimana diatur dalam UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial sebagaimana berikut:
1. Perundingan Bipartit:
- Ini adalah langkah pertama dan wajib, di mana pekerja/buruh dan pengusaha berupaya menyelesaikan perselisihan secara langsung dan musyawarah.
- Pekerja/buruh dapat diwakili oleh serikat pekerja atau wakil pekerja, sedangkan pengusaha dapat diwakili oleh manajemen atau yang diberi mandat.
- Jika ada kesepakatan, dibuatlah Akta Perdamaian(akte van dading).
- Jika tidak ada kesepakatan, dibuat risalah perundingansebagai dasar untuk langkah selanjutnya.
2. Mediasi, Konsiliasi, atau Arbitrase:
- Jika perundingan bipartit gagal, perselisihan dapat diajukan ke instansi ketenagakerjaan untuk diselesaikan melalui mediasi, konsiliasi, atau arbitrase.
- Mediasi: Seorang mediator membantu para pihak mencapai kesepakatan. Mediator tidak boleh memihak dan hanya memberikan saran. Jika ada kesepakatan, dibuatlah Anjuran Tertulis sebagai putusan final.
- Konsiliasi: Seorang konsiliator membantu para pihak mencapai kesepakatan. Konsiliator dapat memberikan saran yang lebih aktif daripada mediator. Jika ada kesepakatan, dibuatlah Anjuran Tertulis sebagai putusan final.
- Arbitrase: Penyelesaian dilakukan oleh seorang atau tiga arbiter yang dipilih para pihak. Arbitrase biasanya untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
3. Pengadilan Hubungan Industrial:
- Jika mediasi, konsiliasi, atau arbitrase gagal mencapai kesepakatan, perselisihan dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
- PHI memeriksa dan mengadili perselisihan hubungan industrial. Putusan PHI dapat berupa putusan verstek (tanpa kehadiran tergugat) atau putusan yang mengikat para pihak.
- Putusan PHI mengenai perselisihan hak dan perselisihan PHK dapat dimintakan Kasasi ke Mahkamah Agung.
Putusan PHI mengenai perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja merupakan putusan tingkat pertama dan terakhir.
Contoh Kasus:
Perselisihan antara PT HMA vs Bambang Bujono dkk.
Kewajiban yang harus dibayarkan oleh PT HMA dirasa cukup berat, tapi dari sisi karyawan (Bambang Bujono dkk) ingin PT HMA membayar pesangon secara tunai tanpa cicilan. kasus tersebut bergulir sampai dengan proses Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan bahwa perusahaan harus membayarkan kewajibannya secara tunai, tanpa dicicil.
Demikian penjelasan Redaksi DuniaHR.com semoga dapat membantu para pembaca sekalian.
Salam,
Redaksi DuniaHR.com
[YAP]