Di satu sudut dunia maya, sebuah sentimen menggema kuat lewat tagar #KaburAjaDulu. Ini adalah suara generasi muda yang memprioritaskan kesehatan mental dan kualitas hidup di atas segalanya, sebuah gerakan untuk meninggalkan Indonesia karena faktor ekonomi, sosial serta politik yang sudah toksik.
Namun, di sudut lain yang lebih riil dan brutal, ribuan orang justru berdesakan di bawah terik matahari. Mereka membentuk lautan manusia di bursa kerja Cikarang hingga berakhir ricuh, dan bersaing sengit dalam rekrutmen Petugas PPSU di Jakarta demi upah minimum.
Di balik hiruk pikuk tersebut, sebuah ironi yang sunyi namun nyata terjadi di ruang-ruang rekrutmen perusahaan. Sebuah riset gabungan dari Populix dan KitaLulus yang dikutip Katadata mengungkap fakta mengejutkan: 46% perusahaan di Indonesia justru melaporkan kesulitan besar dalam menemukan talenta yang mereka butuhkan.
Belum lagi dua fenomena yang tampak kontradiktif, satu sisi berani meninggalkan pekerjaan lewat tagar #KaburAjaDulu, sisi lain berjuang mati-matian untuk mendapatkan pekerjaan ?
Bagaimana bisa “lautan pelamar” dan “kekeringan talenta” terjadi pada saat yang bersamaan, bahkan ketika gelombang PHK terus berjalan?
Fenomena inilah yang menjadi paradoks besar pasar tenaga kerja Indonesia saat ini, sebuah masalah yang akarnya lebih dalam dari sekadar jumlah lowongan.
Fenomena #KaburAjaDulu: Pemicu Perburuan Kualitas Hidup
Gerakan #KaburAjaDulu bukanlah sekadar tren sesaat. Riset dari Populix menunjukkan ini adalah respons mendalam terhadap rasa frustrasi. Generasi muda merasa terjebak dalam pekerjaan yang tidak sesuai dengan keahlian, upah yang tidak sebanding dengan pendidikan, dan lingkungan kerja yang menguras energi. Mereka tidak lari tanpa tujuan; mereka “kabur” untuk mencari kehidupan yang lebih layak, pengembangan karier, dan pekerjaan yang lebih manusiawi. Ini adalah eksodus personal dari ekosistem kerja yang mereka anggap rusak.
Benturan dengan Realitas: Perburuan ‘Oasis’ di Gurun Pekerjaan
Banyak dari mereka yang “kabur” kemudian memasuki kembali arena pencarian kerja, dan di sinilah benturan dengan realitas terjadi. Mereka menemukan diri mereka menjadi bagian dari lautan pelamar yang sama. Fenomena rekrutmen PPSU dan kericuhan di job fair Bekasi adalah bukti nyata.
Ketika 25.000 orang membanjiri sebuah job fair untuk 2.500 lowongan, atau ribuan lainnya bersaing untuk pekerjaan berupah UMP, ini menunjukkan bahwa “oasis” pekerjaan yang layak sangatlah langka. Ironisnya, pekerjaan yang menawarkan kepastian seperti gaji tepat waktu dan jaminan sosial dari pemerintah kini menjadi barang mewah yang diperebutkan, tak peduli seberapa dasar pekerjaan tersebut.
Fenomena ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, pekerjaan ideal bukanlah lagi tentang passion atau jabatan mentereng, melainkan tentang sesuatu yang lebih mendasar: stabilitas untuk menafkahi diri dan keluarga.
Akar Masalah: Paradoks Surplus Manusia & Defisit Keterampilan
Di tengah lautan manusia ini, hampir separuh perusahaan di Indonesia justru mengeluh kesulitan besar dalam merekrut talenta. Mengapa? Karena kita tidak sedang menghadapi krisis jumlah orang, kita menghadapi krisis relevansi keterampilan (skills gap).
Perusahaan melakukan PHK pada peran-peran repetitif, namun mereka mati-matian mencari talenta dengan kompetensi spesifik: analis data, ahli digital marketing, spesialis AI, yang didukung oleh soft skills mumpuni seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah. Jurang menganga antara kualifikasi yang dimiliki mayoritas angkatan kerja yang mungkin mendorong mereka untuk #KaburAjaDulu dari pekerjaan lama dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri masa depan inilah inti dari paradoks ini.
Inilah jantung dari paradoks pasar kerja kita. Riset yang sama menunjukkan alasan utama perusahaan sulit merekrut:
- 50% perusahaan menilai keterampilan teknis (hard skills) pelamar masih di level pemula.
- 35% menilai keterampilan non-teknis (soft skills) seperti komunikasi dan berpikir kritis belum cukup baik.
Pasar tidak lagi hanya butuh ijazah; pasar butuh kompetensi yang relevan. Perusahaan modern mencari talenta dengan kemampuan di bidang digital, analisis data, kecerdasan buatan, sambil didukung oleh soft skills yang kuat seperti pemecahan masalah kompleks, kreativitas, dan kemampuan beradaptasi.
Kesenjangan inilah yang menjelaskan mengapa ribuan orang mungkin mengantre untuk pekerjaan operasional, sementara posisi spesialis di bidang teknologi, data, atau manajemen strategis tetap sulit terisi. Ada “jurang” yang lebar antara kualifikasi yang dimiliki mayoritas angkatan kerja dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh industri masa depan
Bagi Pencari Kerja: Realitasnya adalah ijazah saja tidak lagi cukup. Upskilling (meningkatkan keterampilan yang ada) dan reskilling (mempelajari keterampilan baru) yang relevan dengan industri bukan lagi pilihan, melainkan keharusan untuk bertahan dan berkembang.
Bagi Perusahaan: Perusahaan tidak bisa lagi pasif menunggu “kandidat sempurna”. Mereka harus proaktif berinvestasi dalam program pelatihan dan pengembangan untuk menjembatani kesenjangan keterampilan pada talenta yang mereka rekrut.
Bagi Pemerintah & Institusi Pendidikan: Ini adalah sinyal darurat. Kurikulum pendidikan, dari sekolah kejuruan hingga universitas, harus segera direformasi agar selaras dengan kebutuhan nyata dunia industri. Kolaborasi intensif antara akademisi dan praktisi industri menjadi kunci yang tak terhindarkan.
Menjembatani Jurang: Inisiatif Pendidikan Vokasi Sebagai Harapan
Menjawab tantangan struktural ini, pemerintah melalui Kemendikbudristek telah menggulirkan inisiatif strategis seperti Program Pengembangan SMK 2025. Fokusnya adalah merombak pendidikan vokasi agar selaras dengan denyut nadi industri melalui sinkronisasi kurikulum, sertifikasi kompetensi yang diakui, dan pengajaran berbasis pabrik (teaching factory). Tujuannya jelas: memastikan lulusan sekolah kejuruan tidak lagi menjadi penambah antrean, melainkan menjadi talenta siap serap yang diinginkan industri.
Dalam program “Sinkronisasi dan Harmonisasi Program Pengembangan SMK 2025”, beberapa pilar utama ditegakkan untuk memastikan lulusan tidak lagi hanya menjadi penambah antrean, melainkan menjadi talenta yang siap direbut industri:
Sinkronisasi Kurikulum Berbasis Industri: Kurikulum tidak lagi dibuat secara terisolasi. Dunia usaha dan industri diundang langsung untuk ikut merancang materi ajar, memastikan apa yang dipelajari di sekolah adalah apa yang benar-benar dibutuhkan di dunia kerja.
Fokus pada Sertifikasi Kompetensi: Terjadi pergeseran paradigma dari “sekadar lulus” menjadi “lulus dengan bukti keahlian”. Program seperti Sertifikasi Kompetensi dan Bahasa Asing bagi siswa SMK digalakkan agar mereka memiliki kredensial yang diakui secara profesional, baik di dalam maupun luar negeri.
Pengajaran Berbasis Pabrik (Teaching Factory): Sekolah didorong untuk menciptakan lingkungan belajar yang menyerupai kondisi kerja sesungguhnya. Ini mempersiapkan siswa dengan pengalaman praktis yang nyata sebelum mereka benar-benar terjun ke industri.
Digitalisasi Pembelajaran: Mengintegrasikan teknologi digital ke dalam proses belajar-mengajar menjadi sebuah keharusan untuk membiasakan siswa dengan alat kerja modern.
Inisiatif-inisiatif ini adalah langkah nyata untuk memutus mata rantai skills gap langsung dari hulunya.
Menuju Ekosistem Baru?
Melihat antrean panjang pencari kerja dan keluhan perusahaan secara terpisah hanya akan memberikan kita separuh gambaran. Keduanya adalah dua sisi dari mata uang yang sama: sebuah kesenjangan struktural antara penawaran dan permintaan tenaga kerja.
Solusinya bukan sekadar “memperbanyak lapangan kerja”, melainkan membangun jembatan yang kokoh di atas jurang kesenjangan keterampilan. Ini menuntut sebuah upaya kolaboratif yang masif dari semua pihak untuk memastikan bahwa angkatan kerja kita tidak hanya siap bekerja, tetapi juga siap menghadapi tantangan masa depan
Pasar kerja Indonesia sedang berada di persimpangan jalan yang kompleks. Fenomena #KaburAjaDulu adalah teriakan permintaan akan lingkungan kerja yang lebih baik. Antrean massal di bursa kerja adalah cerminan dari langkanya pekerjaan yang menawarkan stabilitas. Dan keluhan perusahaan adalah bukti dari kesenjangan keterampilan yang mendesak.
Solusinya menuntut sebuah ekosistem baru. Perusahaan perlu membangun budaya kerja yang sehat agar talenta tidak ingin “kabur”. Institusi pendidikan harus berlari kencang untuk menghasilkan lulusan yang relevan. Dan para pekerja, di segala level, perlu memeluk budaya belajar seumur hidup. Hanya dengan upaya kolaboratif inilah kita bisa mulai menjembatani jurang, mengubah paradoks yang memilukan ini menjadi titik awal menuju pasar kerja Indonesia yang lebih seimbang, sehat, dan berkelanjutan.
MN