Dampak Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2024

Loading

Dalam beberapa kesempatan, menanggapi Putusan MK Nomor 168/PUU-XXI/2024 (Putusan MK 168) maka penulis menyarankan Pemerintah untuk berhati-hati dalam menindaklanjuti Putusan MK 168 tersebut.

Dalam Amar Putusan MK 168, 9 Hakim MK memutus beberapa ketentuan pada Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2003 Tentang Penetapan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) Menjadi Undang-Undang tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, sehingga berdampak sebagai berikut :

Pertama, dampak Lebih Mempertegas Kementerian Yang Bertanggung Jawab Adapun salah  satu Amar mempertegas “menteri yang bertanggungjawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan, in casu menteri Tenaga Kerja”;

Adanya perubahan nomenklatur Kementerian maka merujuk Peraturan Presiden Nomor 139 Tahun 2024 Tentang Penataan Tugas Dan Fungsi Kementerian Negara Kabinet Merah Putih Periode Tahun 2024 (Perpres 139/2024) juncto Peraturan Presiden Nomor 140 Tahun 2024 Tentang Organisasi Kementerian (Perpres 140/2024) tanggal 21 Oktober 2024 maka Kementerian Ketenagakerjaan merupakan Kementerian Kelompok II (Pasal 3 ayat (3) Perpes 140/2024) yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden (Pasal 4 Perpres 140/2024). Oleh karenanya Amar Putusan MK 168 sejalan dengan regulasi yang telah Presiden Republik Indonesia terbitkan.

Kedua, dampak terhadap frasa “dapat” dalam Pasal 79 ayat (5) UU Cipta Kerja berdampak terhadap cuti panjang yang dalam prakteknya diatur pada Aturan Otonom yaitu Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama tidak diatur dalam UU Cipta Kerja dan/atau UU Ketenagakerjaan sehingga ini momentum tepat untuk menegaskan definisi cuti termasuk cuti bersama seharusnya diatur dalam perubahan UU Cipta Kerja.

Ketiga, dampak terhadap UU Cipta Kerja beserta Peraturan Pemerintah yang menjadi peraturan perundang-undangan pelaksana dari UU Cipta Kerja. Adapun Terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 terkait Amar mempertegas“Tenaga Kerja Asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam Hubungan Kerja untuk jabatan tertentu dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memerhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.

Selanjutnya, terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 terkait beberapa Amar antara lain : “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun termasuk jika terdapat perpanjangan Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin” (terkait Perjanjian Kerja); “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya” (terkait Perjanjian Alih Daya); “2 (dua) hari waktu istirahat untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu” (terkait waktu istirahat);“wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh dan/atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh” (terkait definisi perundingan bipartit);“dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mendapatkan kesepakatan maka Pemutusan Hubungan Kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap” (terkait pemutusan hubungan kerja harus didahului Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung terlebih dahulu);“sampai berakhirnya proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang berkekuatan hukum tetap sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang PPHI” (terkait pemutusan hubungan kerja harus didahului Putusan Kasasi oleh Mahkamah Agung terlebih dahulu);“diberikan dengan ketentuan sebagai berikut dimaknai paling sedikit” (terkait nilai pesangon).

Dengan demikian Putusan MK 168 yang berdampak langsung terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 mengakibatkan ketentuan otonom dalam Perjanjian Kerja/Peraturan Perusahaan/Perjanjian Kerja Bersama dianggap tidak berlaku apabila substansinya bertentangan dengan Putusan MK 168.

Selain itu, terdampak juga terhadap Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 juncto Peraturan Pemerintah  Nomor 51 Tahun 2023 terkait beberapa Amar antara lain : “Setiap Pekerja/Buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dimaknai termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi, dan jaminan hari tua” (terkait penghidupan yang layak bagi pekerja /buruh); Pemerintah Pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dimaknai “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”;frasa struktur dan skala upah dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”;“termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota” (terkait kewenangan Gubernur dalam menetapkan upah minimum); frasa indeks tertentu dimaknai “indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”; Dalam keadaan tertentu harus dimaknai yang dimaksud dengan “dalam keadaan tertentu” mencakup antara lain bencana alam atau non-alam, termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” (terkait penetapan formula penghitungan Upah minimum yang berbeda dengan formula penghitungan Upah minimum);“Upah di atas Upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara Pengusaha dan Pekerja/Buruh atau Serikat Pekerja/Serikat Buruh di perusahaan” (terkait upah diatas upah minimum) ;“Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala Upah di Perusahaan dengan memperhatikan kemampuan Perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi” (terkait penyusunan struktur dan skala upah oleh perusahaan); “Hak lainnya dari Pekerja/Buruh sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan” (terkait hak pekerja/buruh didahulukan dari kreditur preferen).

Oleh karenanya Putusan MK 168 tersebut berdampak langsung terhadap kebijakan pengupahan yang pasca UU Cipta Kerja berlaku diatur pelaksanaannya dalam Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2021 juncto Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 serta kedudukan pekerja sebagai  kreditur yang didahulukan dari kreditur  preferen.

Berdasarkan uraian diatas, maka setelah terbit perubahan UU Cipta Kerja atau nomenklatur penamaan lainnya yang merujuk Putusan MK 168,  maka Peraturan Pemerintah yang saat ini menjadi peraturan perundang-undangan pelaksana dari UU Cipta Kerja tersebut harus dilakukan perubahan secara keseluruhan. Alasan yuridis perubahan tersebut dikarenakan dasar hukum yaitu bagian “mengingat” dalam masing-masing Peraturan Pemerintah tersebut masih menggunakan UU Cipta Kerja dengan nomenklatur Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020.

Jakarta, 20 November 2024

Salam hormat,

Johan Imanuel
Praktisi Hukum Ketenagakerjaan dan Tim Advokasi Peduli Hukum Indonesia

E-mail : [email protected]

Share this post :

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *