Jakarta – Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian uji materi beberapa pasal dalam Undang-undang (UU) 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) yang diajukan oleh Partai Buruh dan enam pemohon lainnya melalui putusan perkara Nomor 168/PUU-XXI/2023.
Berikut Catatan Redaksi DuniaHR.com terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang dibacakan pada tanggal 31 Oktober 2024 yang kami himpun dari berbagai sumber, sebagai berikut:
- Menyatakan frasa “Pemerintah Pusat” dalam Pasal 42 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 4 Lampiran Undang-undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri yang bertanggung jawab di bidang (urusan) ketenagakerjaan in casu Menteri Tenaga Kerja”.
Catatan: Ini terkait soal RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing atau RPTKA) yang harus disahkan Pemerintah Pusat. Sehingga ini hanya soal redaksional yang sebetulnya sudah tercantum dalam BAB I KETENTUAN UMUM, Pasal 1 yang berbunyi “ Pemerintah Pusat adalah Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan negara RI yang dibantu oleh Wakil Presiden dan Menteri
…. Karena ini terkait ketenagakerjaan maka yang disebut Pemerintah Pusat adalah Presiden atau Menteri Ketenagakerjaan seperti yang terjadi selama ini. Sejak dulu penandatangan RPTKA memang dilakukan Menteri Ketenagakerjaan atau pejabat yang ditunjuk. Hal ini berbeda misalnya bila MK mengembalikan adanya IMTA (Ijin Mempekerjakan TKA) yang telah dihapus oleh Perpres No. 20 tahun 2018 yang menyebabkan mudahnya aliran TKA masuk ke Indonesia karena cukup berbekal RPTKA saja dan tidak perlu lagi IMTA.
- Menyatakan Pasal 42 ayat 4 dalam Pasal 81 angka 4 UU 6/2023 yang menyatakan “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Tenaga kerja asing dapat dipekerjakan di Indonesia hanya dalam hubungan kerja untuk jabatan dan waktu tertentu serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”.
Catatan: MK menambahkan frasa “serta memiliki kompetensi sesuai dengan jabatan yang akan diduduki, dengan memperhatikan pengutamaan penggunaan tenaga kerja Indonesia”. Artinya ini hanya penegasan agar pembuatan PP sebagai turunanya tetap mengacu pada pengutamaan penggunaan tenaga kerja lokal (Indonesia). Setelah meneliti PP No. 34 tahun 2021 tentang TKA yang menjadi turunannya, ternayat sudah dibuat aturan-aturan yang lebih tegas bila dibanding tambahan frasa dari MK itu.
- Menyatakan Pasal 56 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 12 UU 6/2023 yang menyatakan “Jangka waktu atau selesainya suatu pekerjaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat 2 ditentukan berdasarkan perjanjian kerja” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Jangka waktu selesainya suatu pekerjaan tertentu dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun termasuk jika terdapat perpanjangan”.
Catatan: MK menambahkan frasa “dibuat tidak melebihi paling lama lima tahun termasuk jika terdapat perpanjangan”. Frasa tambahan ini membedakan dengan UU No. 6 tahun 2023 tentan Cipta Kerja yang tidak memberi batasan waktu. Selanjutnya, dalam PP No. 35 tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat dan PHK, Kontrak Kerja diatur selama 5 tahun dan dapat diperpanjang sekali paling lama 5 tahun lagi sehingga seluruhnya menjadi 10 tahun. Karena itu frasa “paling lama lima tahun” adalah suatu keberhasilan setidak- tidaknya kembali ke UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Menyatakan Pasal 57 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 13 UU 6/2023 yang menyatakan “Perjanjian kerja waktu tertentu dibuat tertulis serta harus menggunakan secara Bahasa Indonesia dan huruf latin” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Perjanjian kerja waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dengan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin”.
Catatan: Ini hanya perbaikan redaksional saja agar tindak membingungkan karena dalam UU ini redaksinya berantakan walau sebetulnya maknanya masih dapat dimengerti.
- Menyatakan Pasal 64 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 18 yang menyatakan “Pemerintah menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Menteri menetapkan sebagian pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”.
Catatan: Penambahan frasa ”sesuai dengan jenis dan bidang pekerjaan alih daya yang diperjanjikan dalam perjanjian tertulis alih daya”, masih sangat kabur mengenai jenis pekerjaan apa saja yang boleh dialihdayakan. Hal ini berbeda misalnya jika frasa tersebut berbunyi “dengan ketentuan pekerjaan inti tidak boleh dialihdayakan dan perjanjian alih daya dibuat secara tertullis”
- Menyatakan Pasal 79 ayat 2 huruf b dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 yang menyatakan “Istirahat minggguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatanhukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu”.
Catatan: Penambahan frasa “atau dua hari untuk lima hari kerja dalam satu minggu” dimaksudkan untuk memastikan bahwa istirahat 2 hari dalam seminggu juga dibenarkan sebagai pilihan yang disepakati dalam PKB atau Peraturan Perusahaan dan hal ini pun sudah berjalan seperti selama ini. Nampaknya, kelemahan frasa di UU ini telah ditutupi dalam PP No. 35 tahun 2021 yang juga menyebutkan adanya istirahat 2 hari dalam seminggu.
- Menyatakan kata “dapat” dalam Pasal 79 ayat 5 dalam Pasal 81 angka 25 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum
Catatan: penghapusan kata “dapat” dalam ayat 5 tersebut yang berbunyi “…Perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam PK, PP, PKB” artinya perusahaan tertentu yang akan ditetapkan oleh Menteri Ketenagakerjaan wajib memberikan cuti panjang walau lamanya masa cuti dan sebagainya tidak diatur seperti pada UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga lama dan proses mendapatkan cutinya masih sangat bergantung pada perundingan bipartit.
- Menyatakan Pasal 88 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan “Setiap pekerja/buruh berhak atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk penghasilan yang memenuhi penghidupan yang merupakan jumlah penerimaan atau pendapatan pekerja/buruh dari hasil pekerjaannya sehingga mampu memenuhi kebutuhan hidup pekerja/buruh dan keluarganya secara wajar yang meliputi makanan dan minuman, sandang, perumahan, pendidikan, kesehatan, rekreasi dan jaminan hari tua”.
Catatan: Tambahan frasa oleh MK seperti di atas adalah penegasan yang baik agar kebijakan ketenagakerjaan selalu mengacu pada tambahan frasa tersebut. Walau pun selama ini dalam setiap kebijakan terutama kebijakan pengupahan, tambahan frasa itu selalu dimunculkan dalam usulan kaum pekerja.
- Menyatakan Pasal 88 ayat 2 dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 yang menyatakan “Pemerintah pusat menetapkan kebijakan pengupahan sebagai salah satu upaya mewujudkan hak pekerja/buruh atas penghidupan yang layak bagi kemanusiaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan”.
Catatan: Penambahan frasa “dengan melibatkan dewan pengupahan daerah yang di dalamnya terdapat unsur pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan yang menjadi bahan bagi pemerintah pusat untuk penetapan kebijakan pengupahan” akan lebih baik bila dengan melibatkan dewan pengupahan di setiap tingkatan pemerintahan serta perlunya mempertimbangkan disparitas upah yang tinggi antar daerah”. Seperti diketahui, selama ini pun Dewan Pengupahan selalu dilibatkan dalam diskusi walau keputusan akhirnya seringkali dikalahkan unsur Pemerintah dan Pengusaha. Kecuali bila disebutkan Dewan Pengupahan Daerah wajib melakukan survei harga dan menetapkan sejumlah items barang/jasa yang wajib disurvei karena merupakan kebutuhan nyata bagi pekerja/buruh.
- Menyatakan frasa “struktur dan skala upah” dalam Pasal 88 ayat 3 huruf b dalam Pasal 81 angka 27 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “struktur dan skala upah yang proporsional”.
Catatan: Penambahan frasa ”yang proporsional” adalah baik sebagai penegasan bila Pemerintah dan/atau perusahaan hendak menerbitkan aturan Struktur dan Skala Upah. Biasanya pembuatan Struktur dan Skala Upah itu memang sudah mencakup pendidikan, masa kerja, kompetensi, golongan, jabatan, status pernikahan dan tanggungan keluarga dan sebagainya yang semuanya biasanya terkait dengan produktivitas dan loyalitas kepada perusahaan.
- Menyatakan Pasal 88C dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota”.
Catatan: Penambahan frasa “termasuk gubernur wajib menetapkan upah minimum sektoral pada wilayah provinsi dan dapat untuk kabupaten/kota” adalah suatu kemenangan kaum pekerja/buruh karena penetapan upah sektor yang sebelumnya ada dalam UU No. 13 tahun 2003 menjadi hidup kembali.
- Menyatakan frasa “indeks tertentu” dalam Pasal 88D ayat 2 dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Indeks tertentu merupakan variabel yang mewakili kontribusi tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi provinsi atau kabupaten/kota dengan memperhatikan kepentingan perusahaan dan pekerja/buruh serta prinsip proporsionalitas untuk memenuhi kebutuhan hidup layak (KHL) bagi pekerja/buruh”.
Catatan: Penambahan frasa seperti di atas adalah baik sebagai penegasan, walau selama ini, indeks tertentu itu sudah diartikan seperti yang tertulis dalam frasa tambahan dari MK tersebut.
- Menyatakan frasa “dalam keadaan tertentu” dalam Pasal 88 F dalam Pasal 81 angka 28 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Yang dimaksud dengan ‘dalam keadaan tertentu’ mencakup antara lain bencana alam atau non- alam termasuk kondisi luar biasa perekonomian global dan/atau nasional yang ditetapkan oleh Presiden sesuai dengan ketentuan peraturan perundang- undangan”.
Catatan: Penambahan frasa seperti di atas adalah baik saja sebagai penegasan. Walaupun sesungguhnya pengertian ”dalam keadaan tertentu” memang selalu diartikan seperti frasa tambahan oleh MK tersebut.
- Menyatakan Pasal 90A dalam Pasal 81 angka 31 UU 6/2023 yang menyatakan “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh perusahaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Upah di atas upah minimum ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan”.
Catatan: Penambahan frasa “atau serikat pekerja/serikat buruh di perusahaan” adalah baik saja sebagai penegasan. Walaupun, selama ini perundingan mengenai upah diatas upah minimum sudah dilakukan oleh Serikat Pekerja/Serikat Buruh
- Menyatakan Pasal 92 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 33 UU 6/2023 yang menyatakan “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas, serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi”.
Catatan: penambahan frasa “serta golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan dan kompetensi” adalah baik saja sebagai penegasan. Walaupun, saat menetapkan Struktur dan Skala Upah, baik Pemerintah maupun perusahaan selalu memperhatikan seperti pada frasa tambahan ole MK tersebut.
- Menyatakan Pasal 95 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 36 UU 6/2023 yang menyatakan “Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didahulukan pembayarannya atas semua kreditur kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Hak lainnya dari pekerja/buruh sebagaimana dimaksud pada ayat 1 didahulukan pembayarannya atas semua kreditur termasuk kreditur preferen kecuali para kreditur pemegang hak jaminan kebendaan”.
Catatan: Penambahan frasa “termasuk kreditur preferen” (seperti hutang pajak, hutang dagang dan sejenisnya) adalah sangat baik bagi kaum pekerja, karena artinya hak-hak pekerja bila perusahaan pailit, haruslah didahulukan dari semua kewajiban pembayaran kecuali yang memiliki jaminan kebendaan.
- Menyatakan Pasal 98 ayat 1 dalam Pasal 81 angka 39 UU 6/2023 yang menyatakan “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Untuk memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah pusat atau pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan pengupahan serta pengembangan sistem pengupahan dibentuk dewan pengupahan yang berpartisipasi secara ”.
Catatan: Penambahan frasa “yang berpartisipasi secara aktif” pada dasarnya hanya penegasan saja, karena pada dasarnya sekarang pun dibolehkan untuk itu. Hanya saja memang keputusan akhir Dewan Pengupahan bersifat kolektif dan seringkali aspirasi kaum buruh dikalahkan.
18. Menyatakan frasa “Wajib dilakukan perundingan bipartit antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” dalam Pasal 151 ayat 3 dalam Pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Wajib dilakukan melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat antara pengusaha dengan pekerja/buruh dan/atau serikat pekerja/serikat buruh”.
Catatan: Penambahan frasa “dan/atau serikat pekerja/serikat buruh” baik saja untuk penegasan, walau sebenarnya sat ini pun perundingan bipartit selalu melibatkan Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
- Menyatakan frasa “pemutusan hubungan kerja dikakukan melalui tahap berikutnya sesuai dengan mekanisme penyelesaian perselisihan hubungan industrial” dalam Pasal 151 ayat 4 dalam Pasal 81 angka 40 UU 6/2023 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai “Dalam hal perundingan bipartit sebagaimana dimaksud pada ayat 3 tidak mendapatkan kesepakatan, maka pemutusan hubungan kerja hanya dapat dilakukan setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap”.
Catatan: Penambahan frasa di atas hanya penegasan saja, di mana PHK bisa dilakukan setelah putusan incracht (putusan hukum tetap). Pada faktanya selama ini PHK memang dilakukan bila putusan Peradulan PHI sudah incracht.
- Menyatakan frasa “diberikan dengan ketentuan sebagai berikut” dalam Pasal 156 ayat (2) dalam Pasal 81 angka 147 Lampiran Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-undang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2023 Nomor 41, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6856 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai, “paling sedikit”.
Catatan: Penambahan frasa “paling sedikit” dalam angka-angka yang tertulis dalam sebuah UU biasanya sudah merupakan angka terkecil atau minimum. Karena itu penambahan kata “paling sedikit” hanyalah untuk penegasan saja
Demikian Catatan Redaksi DuniaHR.com terkait Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 168/PUU-XXI/2023 yang kami himpun dari beberapa sumber.
Lampiran:
Putusan_MK RI 168-PUU-XXI-2023_SH
CATATAN ATAS PUTUSAN MK OKTOBER 24
Standpoint APINDO – JR MK UU CK 31102024
Salam,
Redaksi DuniaHR.com
(YAP)
Ingin bertanya seputar dunia kerja dan permasalahan praktis yang ditemui kini lebih mudah melalui forum WAG Dunia HR Discussion:
Dukung dan support kegiatan Dunia HR dengan cara follow/subscribe:
Instagram: https://www.instagram.com/duniahrcom/
Youtube: https://www.youtube.com/channel/UCnIChHnIPZEz5BqB0jTxoxQ
Linkedin: https://www.linkedin.com/company/duniahr-com/
Mitra Kolaborasi :
Pasang Lowongan Kerja Gratis 100% tanpa syarat hanya di Rekruter Indonesia Bersatu
Komunitas Belajar HR sesuai SKKNI PeopleUp
Konsultan SDM & Layanan Transformasi Organisasi HeaRt Squad Indonesia